“Absolut”, “Serentak dan Seragam”, “Tidak bisa berubah dan diubah-ubah”, “Tidak perlu dipelajari dan dihafalkan”
NAFAS
Absolut?
Ya,
karena setiap manusia dan binatang hidup pasti menghisap Oksigen dan tidak bisa digantikan dengan zat lain
Serentak dan seragam?
Ya,
karena di seluruh belahan dunia semua orang memiliki gaya nafas yang sama, tanpa adanya sosialisasi
Tidak bisa berubah dan diubah-ubah?
Ya,
karena orang tidak bisa merubah gaya nafasnya atau yang dihirupnya
Tidak perlu dipelajari dan dihafalkan?
Ya,
karena pada saat kita lahir, kita tidak perlu mempelajari dan menghafalnya bagaimana cara bernafas
AGAMA
Absolut?
Tidak,
karena ada banyak pilihan Agama di dunia ini, meskipun semuanya meng-klaim merekalah yang paling benar. Kondisi ini justru banyak menimbulkan peperangan yang sebenarnya dibenci oleh Nya
Serentak dan Seragam?
Tidak,
karena tidak ada satupun Agama di dunia yang tidak memerlukan sosialisasi untuk pengembangannya / pemasarannya. Di lain pihak, semua agama bermula dari kepercayaan lokal (tidak serentak, dan perlu sosialisasi)
Tidak bisa berubah dan diubah-ubah?
Bisa,
karena orang dapat mengubah ayat-ayat atau doa-doa dalam Kitab Ajarannya, dan kemudian dicetak ulang dengan sampul yang sama. Yang saat ini kita dapat lihat banyak bentrokan internal di Agamanya sendiri, karena ada pihak yang merasa, bahwa kelompok lain telah mengubah kaidah Agama dalam Kitab Ajarannya, sementara menurut salah satu pihak, milik merekalah yang lebih asli.
Tidak Perlu dipelajari dan dihafalkan?
Justru harus dipelajari dan dihafalkan terlebih dahulu, karena tanpa mempelajari dan menghafalnya, maka kita tidak dapat berprilaku menurut Agama yang dianut.
Catatan:
Melihat logika di atas, maka tidak heran jika terjadi banyak peperangan di sana-sini. Karena mayoritas Agama ingin benarnya sendiri, dengan pembenaran diri atas nama utusan Tuhan Yang Maha Esa.
Agama Jawi mengajarkan teposeliro atau tenggangrasa atau lebih menekankan pada empati, ketimbang pembenaran diri atas nama utusan Tuhan Yang Maha Esa.
Ditinjau sedikit lebih jauh, pertanyaannya, apakah orang tua kita rela dan mau melihat anak-anak mereka berkelahi satu sama lain. Kalau orang tua kita saja tidak rela dan tidak mau, apalagi Tuhan Yang Maha Esa. Jadi intinya Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah membuat agama. Dengan kita mengakui agama-agama tersebut buatan Tuhan Yang Maha Esa, sementara mereka saling bertikai, maka sama saja kita mengecilkan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri.
.... Tuhan ada sebelum kita semua ada, Tuhan tetap ada setelah kita semua tiada ....
Bagaimana Menjadi Seorang Kejawen Sejati?
Caranya; puasa lah mutih Senin Kamis, pada saat menjalani puasa tersebut tanyakan pada diri sendiri (dasar2 Olah Roso), apakah Anda suka membohongi diri Anda sendiri? Kalau jawabannya, Anda suka membohongi diri Anda sendiri, maka Anda bukan orang yang cocok untuk Menjadi Seorang Kejawen....
Kejawen adalah orang yang memeluk Agami Jawi. Jawi sendiri memiliki arti dan makna : Berbudi Luhur. Jadi Agami Jawi bukan Agamanya orang Jawa saja, melainkan Agamanya orang yang ingin Berbudi Luhur...
Caranya; puasa lah mutih Senin Kamis, pada saat menjalani puasa tersebut tanyakan pada diri sendiri (dasar2 Olah Roso), apakah Anda suka membohongi diri Anda sendiri? Kalau jawabannya, Anda suka membohongi diri Anda sendiri, maka Anda bukan orang yang cocok untuk Menjadi Seorang Kejawen....
Kejawen adalah orang yang memeluk Agami Jawi. Jawi sendiri memiliki arti dan makna : Berbudi Luhur. Jadi Agami Jawi bukan Agamanya orang Jawa saja, melainkan Agamanya orang yang ingin Berbudi Luhur...
Agama Tidak Membuat Orang Jadi Baik
Minggu, 30 Oktober 2011
Sifat Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
Kamis, 12 Mei 2011
Sembayang Kejawen
Dari website yang saya telusuri, ttg cara sembahyang, yang paling nyaman menurut saya, yang satu ini, ini saya sate (Salin Tempel) saja dari yang berkompeten.....
Bagaimana sembahyang ?
Untuk sembahyang sehari-hari, adalah pada saat “Bangun Tidur” dan ketika “Menjelang Tidur”.
Maknanya; Orang Lahir (Bangun Tidur) dan Meninggal (Tidur)
Bagaimana posisi sembahyang?
Kita cukup terlentang layaknya orang tidur, dengan "Telapak Tangan Kiri Diletakan Tepat di atas Jantung", dan "Telapak Tangan Kanan Diletakan Tepat di atas Puser.
Maknanya; Jantug (Organ Vital Kehidupan - Yang membersihkan Getih / Darah), dan Puser (Tali Kehidupan Ketika Kita di dalam Kandungan)
Apa doanya ketika sembahyang?
Bangun Tidur Terimakasih Ghusti, saya diberi kesempatan kembali untuk hidup hari ini. “Saudara Papat limo pancer", mari kita sama-sama menikmati hari ini dengan baik, semoga hidup kita juga bermanfaat bagi Ghusti dan Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb). Menjelang Tidur
Ghusti, terimakasih untuk hari ini. Niat saya tidur, ikhlas dan pasrah pada Ghusti. “Saudara Papat limo pancer", selamat tidur, badan tidur hati tetap bangun. Terimakasih, sudah bersama-sama dengan saya dari Bangun Tidur hingga Tidur Kembali.
Eling
Sebelum melakukan segala sesuatu, sebagai seorang Kejawen harus Eling lan Waspodo. Arti kekiniannya, kita harus selalu sadar dan konsentrasi pada apa yang kita akan lakukan. Tetapi arti yang sebenarnya, kita harus selalu ingat dengan Ghusti, dan bahwa segala sesuatu kejadian tidak lepas dari interaksi kita dengan segala sesuatu di sekitar kita termasuk alam, sesepuh, dan mahluk halus lainnya.
Sembayang lainnya:
Dapat dilakukan dalam keadaan Duduk atau Sila, Berdiri, maupun Terlentang.
Selain sembahyang wajib, akan lebih baik dilakukan dalam keadaan Duduk atau Sila, "Telapak Tangan Kiri Menempel di Dada, dan Telapak Tangan Kanan Menempel pada Puser", atau dengan "Tangan Kanan di Bawah Tangan Kiri".
Makna Tangan Kanan di Bawah Tangan Kirinya; Yang Kotor di Bawah Yang Bersih (Darah Bersih dari Jantung mengalir pada bagian Tubuh sebelah Kiri, sementara aliran Darah Kotor mengalir pada bagian Tubuh sebelah Kanan).
Menyembayangi orang Meninggal:
Doanya : Dari Surga kembali ke Surga. Ghusti mohon ampunan untuk teman, saudara, dlsb.(bisa 3 x atau 7 x) Semoga dapat kembali ke asalnya, dengan jalan yang lurus dan terang. Dari Surga kembali ke Surga.
Catatan:
Diakhir sembahyang atau doa, mengapa kita tidak menggunakan kata Amin?
Kata Amin, jika diterjemahkan adalah: kabulkanlah!
Kata kabulkanlah, adalah kata perintah. Jadi tidak sepantasnya kita memerintah Tuhan Yang Maha Esa.
Sebaliknya, "berterimakasihlah" setiap menyudahi sembahyang atau berdoa. Karena kata itulah kebalikannya dari kata Amin Untuk bahasa Jawa-nya; matursembahnuwun Ghusti
Untuk bahasa Indonesianya; Terimakasih Ghusti
Ghusti selalu memberikan kita yang terbaik, masa manusia masih menyusuruh mengabulkan keinginan serakahnya.
Bagaimana sembahyang ?
Untuk sembahyang sehari-hari, adalah pada saat “Bangun Tidur” dan ketika “Menjelang Tidur”.
Maknanya; Orang Lahir (Bangun Tidur) dan Meninggal (Tidur)
Bagaimana posisi sembahyang?
Kita cukup terlentang layaknya orang tidur, dengan "Telapak Tangan Kiri Diletakan Tepat di atas Jantung", dan "Telapak Tangan Kanan Diletakan Tepat di atas Puser.
Maknanya; Jantug (Organ Vital Kehidupan - Yang membersihkan Getih / Darah), dan Puser (Tali Kehidupan Ketika Kita di dalam Kandungan)
Apa doanya ketika sembahyang?
Bangun Tidur Terimakasih Ghusti, saya diberi kesempatan kembali untuk hidup hari ini. “Saudara Papat limo pancer", mari kita sama-sama menikmati hari ini dengan baik, semoga hidup kita juga bermanfaat bagi Ghusti dan Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb). Menjelang Tidur
Ghusti, terimakasih untuk hari ini. Niat saya tidur, ikhlas dan pasrah pada Ghusti. “Saudara Papat limo pancer", selamat tidur, badan tidur hati tetap bangun. Terimakasih, sudah bersama-sama dengan saya dari Bangun Tidur hingga Tidur Kembali.
Eling
Sebelum melakukan segala sesuatu, sebagai seorang Kejawen harus Eling lan Waspodo. Arti kekiniannya, kita harus selalu sadar dan konsentrasi pada apa yang kita akan lakukan. Tetapi arti yang sebenarnya, kita harus selalu ingat dengan Ghusti, dan bahwa segala sesuatu kejadian tidak lepas dari interaksi kita dengan segala sesuatu di sekitar kita termasuk alam, sesepuh, dan mahluk halus lainnya.
Sembayang lainnya:
Dapat dilakukan dalam keadaan Duduk atau Sila, Berdiri, maupun Terlentang.
Selain sembahyang wajib, akan lebih baik dilakukan dalam keadaan Duduk atau Sila, "Telapak Tangan Kiri Menempel di Dada, dan Telapak Tangan Kanan Menempel pada Puser", atau dengan "Tangan Kanan di Bawah Tangan Kiri".
Makna Tangan Kanan di Bawah Tangan Kirinya; Yang Kotor di Bawah Yang Bersih (Darah Bersih dari Jantung mengalir pada bagian Tubuh sebelah Kiri, sementara aliran Darah Kotor mengalir pada bagian Tubuh sebelah Kanan).
Menyembayangi orang Meninggal:
Doanya : Dari Surga kembali ke Surga. Ghusti mohon ampunan untuk teman, saudara, dlsb.(bisa 3 x atau 7 x) Semoga dapat kembali ke asalnya, dengan jalan yang lurus dan terang. Dari Surga kembali ke Surga.
Catatan:
Diakhir sembahyang atau doa, mengapa kita tidak menggunakan kata Amin?
Kata Amin, jika diterjemahkan adalah: kabulkanlah!
Kata kabulkanlah, adalah kata perintah. Jadi tidak sepantasnya kita memerintah Tuhan Yang Maha Esa.
Sebaliknya, "berterimakasihlah" setiap menyudahi sembahyang atau berdoa. Karena kata itulah kebalikannya dari kata Amin Untuk bahasa Jawa-nya; matursembahnuwun Ghusti
Untuk bahasa Indonesianya; Terimakasih Ghusti
Ghusti selalu memberikan kita yang terbaik, masa manusia masih menyusuruh mengabulkan keinginan serakahnya.
Label:
Catatan,
Doa,
Eling,
Orang Meninggal,
Pihak Lain,
Sembahyang
Rabu, 11 Mei 2011
Sesajen atau Sajian
Mengapa seorang Kejawen Sejati memberikan Sesajen?
Hal ini dikarenakan oleh tata krama sopan santun kepada Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb), yang harus dicerminkan oleh seorang Kejawen.
Analoginya, dengan kita menyembah Ghusti, tidak berarti kita tidak menyuguhkan kenalan atau tetangga kita yang berkunjung ke rumah kita. Dalam kehidupan ini, Agama mana yang tidak mempercayai alam gaib, atau kehidupan lain di bumi ini? Dalam Kedjawen, kepercayaan itu dituangkan pula dalam pola sopan santun kepada “Mahluk Halus” yang termasuk dalam kategori Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb) yang ada di sekitar kita.
Atau sebaliknya, jika kita menyuguhkan sajian kepada tamu kita yang datang ke rumah kita, apakah artinya kita menyembah tamu kita tersebut?
Jawabannya; tentu tidak khan!
Mengapa malam Jumat?
Seorang Kejawen mempercayai, bahwa malam Jumat adalah malam dimana para “Sesepuh” (baik itu mahluk halus maupun orang tua/saudara/kerabat yang sudah tidak ada) mengunjungi anak wayahnya.
Apa yang disuguhkan?
Untuk menghormati para “Sesepuh”, kita sebaiknya menyuguhkan hidangan seperti layaknya menyuguhkan tamu kita, minuman (Teh atau Kopi - tidak menutup kemungkinan jika kita juga ingin menyediakan rokok, bunga melati - sebagai wangi-wangian, dlsb) sebagai simbol penghormatan kita kepada para “Sesepuh” atau tamu kita. Jadi, hal ini merupakan bentuk sopan santun kita kepada para “Sesepuh”, maupun "Mahluk Halus" yang kita rasa sering berkunjung ke rumah kita.
Mengapa disebut Sesepuh?
Karena mereka umumnya mempunyai umur yang jauh di atas kita. Sehingga mereka layak disebut "Sesepuh". Begitu juga Kakek Buyut kita atau Orang Tua kita yang sudah meninggal. Dimana mereka selalu menengok anak cucu-nya pada malam Jumat.
Jadi kita tidak menyembah Sesepuh kita melebihi Ghusti?
Absolut tidak. Kalau dibalik dengan pertanyaan. Apakah Anda menyuguhkan kenalan Anda waktu mereka bertamu ke rumah Anda, berarti Anda menyembah tamu Anda?
Mengapa waktu memberikan Sesajen, bersikap seolah menyembah?
Ini memang ada kesalahan gesture antara menyembah Ghusti, dengan memberi hormat kepada “Sesepuh”.
Sebenarnya dalam Kejawen menjembah Ghusti, tangan diletakan diatas kepala atau bersentuhan dengan dahi.
Yang memiliki makna; Posisi Ghusti adalah absolut di atas segala-galanya
Sedangkan untuk memberi salam hormat kepada “Sesepuh” tangan/jempol menyentuh dagu. Yang memiliki makna; bahwa seorang Kejawen tidak boleh berbuat sembrono/sembarangan (baik prilaku maupun bertutur kata), kepada orang atau mahluk yang lebih sepuh.
Sementara memberi salam hormat kepada sesama adalah dengan tangan/jempol menyentuh dada.
Yang memiliki makna; bahwa seorang kejawen menghormati sesamanya, dengan hati yang tulus dan ikhlas
Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb)
Hal ini dikarenakan oleh tata krama sopan santun kepada Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb), yang harus dicerminkan oleh seorang Kejawen.
Analoginya, dengan kita menyembah Ghusti, tidak berarti kita tidak menyuguhkan kenalan atau tetangga kita yang berkunjung ke rumah kita. Dalam kehidupan ini, Agama mana yang tidak mempercayai alam gaib, atau kehidupan lain di bumi ini? Dalam Kedjawen, kepercayaan itu dituangkan pula dalam pola sopan santun kepada “Mahluk Halus” yang termasuk dalam kategori Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb) yang ada di sekitar kita.
Atau sebaliknya, jika kita menyuguhkan sajian kepada tamu kita yang datang ke rumah kita, apakah artinya kita menyembah tamu kita tersebut?
Jawabannya; tentu tidak khan!
Mengapa malam Jumat?
Seorang Kejawen mempercayai, bahwa malam Jumat adalah malam dimana para “Sesepuh” (baik itu mahluk halus maupun orang tua/saudara/kerabat yang sudah tidak ada) mengunjungi anak wayahnya.
Apa yang disuguhkan?
Untuk menghormati para “Sesepuh”, kita sebaiknya menyuguhkan hidangan seperti layaknya menyuguhkan tamu kita, minuman (Teh atau Kopi - tidak menutup kemungkinan jika kita juga ingin menyediakan rokok, bunga melati - sebagai wangi-wangian, dlsb) sebagai simbol penghormatan kita kepada para “Sesepuh” atau tamu kita. Jadi, hal ini merupakan bentuk sopan santun kita kepada para “Sesepuh”, maupun "Mahluk Halus" yang kita rasa sering berkunjung ke rumah kita.
Mengapa disebut Sesepuh?
Karena mereka umumnya mempunyai umur yang jauh di atas kita. Sehingga mereka layak disebut "Sesepuh". Begitu juga Kakek Buyut kita atau Orang Tua kita yang sudah meninggal. Dimana mereka selalu menengok anak cucu-nya pada malam Jumat.
Jadi kita tidak menyembah Sesepuh kita melebihi Ghusti?
Absolut tidak. Kalau dibalik dengan pertanyaan. Apakah Anda menyuguhkan kenalan Anda waktu mereka bertamu ke rumah Anda, berarti Anda menyembah tamu Anda?
Mengapa waktu memberikan Sesajen, bersikap seolah menyembah?
Ini memang ada kesalahan gesture antara menyembah Ghusti, dengan memberi hormat kepada “Sesepuh”.
Sebenarnya dalam Kejawen menjembah Ghusti, tangan diletakan diatas kepala atau bersentuhan dengan dahi.
Yang memiliki makna; Posisi Ghusti adalah absolut di atas segala-galanya
Sedangkan untuk memberi salam hormat kepada “Sesepuh” tangan/jempol menyentuh dagu. Yang memiliki makna; bahwa seorang Kejawen tidak boleh berbuat sembrono/sembarangan (baik prilaku maupun bertutur kata), kepada orang atau mahluk yang lebih sepuh.
Sementara memberi salam hormat kepada sesama adalah dengan tangan/jempol menyentuh dada.
Yang memiliki makna; bahwa seorang kejawen menghormati sesamanya, dengan hati yang tulus dan ikhlas
Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb)
Selasa, 10 Mei 2011
Empat Sila Utama Pola Hubungan
Berprilaku dengan 4 Sila Dasar Utama Pola Hubungan dengan apa yang ada di luar diri kita :
1. "Eling Lan Bekti marang Ghusti Kang Murbeng Dumadi" : artinya, kita yang Eling, seyogyanya harus selalu mengingat dan menyembah Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa) dalam setiap tarikan nafas kita. Dimana Ghusti yang Esa telah memberikan kesempatan bagi kita untuk hidup dan berkarya di alam yang Indah ini.
2. “Setyo marang Penggede Negoto”: artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di suatu wilayah, maka adalah wajar dan wajib untuk menghormati dan mengikuti semua peraturan yang di keluarkan pemimpinnya yang baik dan bijaksana.
3. “Bekti marang Bhumi Nusontoro” artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di bumi nusantara ini, wajar dan wajib untuk merawat dan memperlakukan bumi ini dengan baik, dimana bumi ini telah memberikan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya. Dengan berbakti dan menjaga kelestarian Alam, maka alam akan memberikan yang terbaik untuk kita yang hidup di atasnya.
4. “Bekti Marang Wong Tuwo” : artinya, kita tidak dengan serta merta ada di dunia ini, tetapi melalui perantara Ibu dan Ayah, maka hormatilah, mulyakanlah orang tua yang telah merawat kita. Berbakti kepada Ayah dan Ibu yang telah memberikan kita jalan untuk meraih kehidupan disini.
5. “Bekti Marang sedulur Tuwo” : artinya, menghormati saudara yang lebih tua dan lebih mengerti dari pada kita, baik tua secara umur, secara derajat, pengetahuan maupun kemampuannya.
6. “Tresno marang kabeh kawulo Mudo” : artinya, menyayangi kawulo yang lebih muda, memberikan bimbingan, dan menularkan pengalaman dan pengetahuan kepada yang muda. Dengan harapan, yang muda ini akan dapat menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab.
7. “Tresno marang sepepadaning manungso” : artinya, yang perlu diingat dan dicamkan dalam hati yang terdalam adalah, bahwa semua manusia sama nilainya dihadapan Ghusti". Karenanya, hormatilah sesamamu, dimana mereka memiliki harkat dan martabat yang sama dengan mu, dan sederajat dengan manusia lainnya. cintailah sesamamu dengan tulus ikhlas.
8. “Tresno marang sepepadaning Urip” : artinya, semua yang di ciptakan Ghusti adalah mahluk yang ada karena kehendak Ghusti yang Kuasa, karena mereka memiliki fungsi masing masing, dalam melestarikan kita bersama alam ini. Dengan menghormati semua ciptaanNya, maka kitapun telah menghargai dan menghormatiNya.
9. “Hormat marang kabeh agomo “ : artinya, hormatilah semua agama atau aliran, dan para penganutnya. Agama adalah ageming aji, yang mengatur dan menata diri meng-Olah Roso untuk menjadikan manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur.
10. “Percoyo marang Hukum Alam” : artinya, selain Ghusti menurunkan kehidupan, Ghusti juga menurunkan Hukum Alam dan menjadi hukum sebab akibat, siapa yang menanam maka dia yang menuai. Kita ini hidup di alam dualitas, dan akan terikat dengan hukum-hukum yang ada selama masih berdiam di pangkuan alam tersebut, dan hormatilah alam dan hukumnya.
11. “Percoyo marang kepribaden dhewe tan owah gingsir” : artinya, manusia ini rapuh, dan hatinya berubah-ubah, maka hendaklah menyadarinya, dan dapat menempatkan diri di hadapan Ghusti, agar selalu mendapat lindungan dan rahmatNya, dalam menjalani Hidup dan kehidupan ini. Dengan terus melakukan Olah Roso, berarti kita terus menata diri demi meraih pribadi yang berbudi pekerti luhur memayu hayuning bawono.
12. “Bekti Marang Mahluk Lainnya” : artinya, menghormati mahluk lain ciptaanNya juga, seperti ia menghormati manusia lainnya "Tresno marang sepepadaning manungso"
12 Makna di atas sebenarnya merupakan penjabaran, bagaimana sebaiknya seorang Kejawen harus berprilaku dengan 4 Sila Dasar Utama Pola Hubungan dengan apa yang ada di luar dirinya:
1. Hubungan Manusia dengan Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa)
2. Hubungan Manusia dengan Alam Semesta
3. Hubungan Manusia dengan Mahluk lain
4. Hubungan Manusia dengan sesama Manusia
Dalam urutan di atas, jelas, bahwa Hubungan Manusia dengan sesama Manusia adalah hubungan yang paling Rendah. Di sinilah filosofinya, bahwa Manusia harus menyayangi semua kehidupan, agar hidup ini bahagia. Jadi seorang Kejawen Sejati, jangan pernah mengatakan bahwa Manusialah mahluk yang paling sempurna. Karena pikiran itu, akan membuat diri ini ingin menang sendiri.
Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)
Menyayangi semua kehidupan bukan berarti memberi toleransi pada kejahatan yang dilakukan oleh Pihak Lain (Orang lain, dan Mahluk Lain)
1. "Eling Lan Bekti marang Ghusti Kang Murbeng Dumadi" : artinya, kita yang Eling, seyogyanya harus selalu mengingat dan menyembah Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa) dalam setiap tarikan nafas kita. Dimana Ghusti yang Esa telah memberikan kesempatan bagi kita untuk hidup dan berkarya di alam yang Indah ini.
2. “Setyo marang Penggede Negoto”: artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di suatu wilayah, maka adalah wajar dan wajib untuk menghormati dan mengikuti semua peraturan yang di keluarkan pemimpinnya yang baik dan bijaksana.
3. “Bekti marang Bhumi Nusontoro” artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di bumi nusantara ini, wajar dan wajib untuk merawat dan memperlakukan bumi ini dengan baik, dimana bumi ini telah memberikan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya. Dengan berbakti dan menjaga kelestarian Alam, maka alam akan memberikan yang terbaik untuk kita yang hidup di atasnya.
4. “Bekti Marang Wong Tuwo” : artinya, kita tidak dengan serta merta ada di dunia ini, tetapi melalui perantara Ibu dan Ayah, maka hormatilah, mulyakanlah orang tua yang telah merawat kita. Berbakti kepada Ayah dan Ibu yang telah memberikan kita jalan untuk meraih kehidupan disini.
5. “Bekti Marang sedulur Tuwo” : artinya, menghormati saudara yang lebih tua dan lebih mengerti dari pada kita, baik tua secara umur, secara derajat, pengetahuan maupun kemampuannya.
6. “Tresno marang kabeh kawulo Mudo” : artinya, menyayangi kawulo yang lebih muda, memberikan bimbingan, dan menularkan pengalaman dan pengetahuan kepada yang muda. Dengan harapan, yang muda ini akan dapat menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab.
7. “Tresno marang sepepadaning manungso” : artinya, yang perlu diingat dan dicamkan dalam hati yang terdalam adalah, bahwa semua manusia sama nilainya dihadapan Ghusti". Karenanya, hormatilah sesamamu, dimana mereka memiliki harkat dan martabat yang sama dengan mu, dan sederajat dengan manusia lainnya. cintailah sesamamu dengan tulus ikhlas.
8. “Tresno marang sepepadaning Urip” : artinya, semua yang di ciptakan Ghusti adalah mahluk yang ada karena kehendak Ghusti yang Kuasa, karena mereka memiliki fungsi masing masing, dalam melestarikan kita bersama alam ini. Dengan menghormati semua ciptaanNya, maka kitapun telah menghargai dan menghormatiNya.
9. “Hormat marang kabeh agomo “ : artinya, hormatilah semua agama atau aliran, dan para penganutnya. Agama adalah ageming aji, yang mengatur dan menata diri meng-Olah Roso untuk menjadikan manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur.
10. “Percoyo marang Hukum Alam” : artinya, selain Ghusti menurunkan kehidupan, Ghusti juga menurunkan Hukum Alam dan menjadi hukum sebab akibat, siapa yang menanam maka dia yang menuai. Kita ini hidup di alam dualitas, dan akan terikat dengan hukum-hukum yang ada selama masih berdiam di pangkuan alam tersebut, dan hormatilah alam dan hukumnya.
11. “Percoyo marang kepribaden dhewe tan owah gingsir” : artinya, manusia ini rapuh, dan hatinya berubah-ubah, maka hendaklah menyadarinya, dan dapat menempatkan diri di hadapan Ghusti, agar selalu mendapat lindungan dan rahmatNya, dalam menjalani Hidup dan kehidupan ini. Dengan terus melakukan Olah Roso, berarti kita terus menata diri demi meraih pribadi yang berbudi pekerti luhur memayu hayuning bawono.
12. “Bekti Marang Mahluk Lainnya” : artinya, menghormati mahluk lain ciptaanNya juga, seperti ia menghormati manusia lainnya "Tresno marang sepepadaning manungso"
12 Makna di atas sebenarnya merupakan penjabaran, bagaimana sebaiknya seorang Kejawen harus berprilaku dengan 4 Sila Dasar Utama Pola Hubungan dengan apa yang ada di luar dirinya:
1. Hubungan Manusia dengan Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa)
2. Hubungan Manusia dengan Alam Semesta
3. Hubungan Manusia dengan Mahluk lain
4. Hubungan Manusia dengan sesama Manusia
Dalam urutan di atas, jelas, bahwa Hubungan Manusia dengan sesama Manusia adalah hubungan yang paling Rendah. Di sinilah filosofinya, bahwa Manusia harus menyayangi semua kehidupan, agar hidup ini bahagia. Jadi seorang Kejawen Sejati, jangan pernah mengatakan bahwa Manusialah mahluk yang paling sempurna. Karena pikiran itu, akan membuat diri ini ingin menang sendiri.
Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)
Menyayangi semua kehidupan bukan berarti memberi toleransi pada kejahatan yang dilakukan oleh Pihak Lain (Orang lain, dan Mahluk Lain)
Senin, 09 Mei 2011
Dosa
Bagaimana seorang Kejawen melihat Dosa?
Dosa adalah perasaan yang timbul sebagai hasil dari perbuatan yang merugikan pihak lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)
Bagaimana kita bisa merasa berdosa?
Dalam "Budi Jawi" yang dipentingkan adalah Olah Roso, karena dari Olah Roso, maka kita tahu apakah sebuah perbuatan itu benar atau salah. Untuk memudahkan, perasaan seseorang selalu dikembalikan kepada dirinya sendiri. Sebagai contoh, jika kita memukul orang lain, bagaimana kalau kita dipukul oleh orang lain? Karena rasa sakit itu akan ada kesamaannya, jika kita yang dipukul.
Apakah Dosa dicatat oleh Ghusti?
Ghusti tidak mencatat dosa kita. Yang mencatat adalah diri kita sendiri (Kalau di-analogi-kan saat ini - setiap Manusia membawa Smart Chips nya masing-masing). Semua berpulang pada keikhlasan kita masing-masing. Apakah kita dapat berbuat ikhlas dalam kondisi yang dibalik? Jawabannya ada pada Olah Roso.
Apa itu Roso dalam Budi Jawi?
Roso merupakan sebuah atmosfir dalam diri seseorang yang diterjemahkan oleh hati, panca indra, dan pikiran kita sendiri.
Dapatkah Roso, kita bohongi atau berbohong kepada kita?
Kalau kita menjalankan dengan baik dan ikhlas, serta menggunakan hati nurani, panca indra dan pikiran kita sendiri, maka Roso itu tidak dapat berbohong atau dibohongi.
Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)
Dosa adalah perasaan yang timbul sebagai hasil dari perbuatan yang merugikan pihak lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)
Bagaimana kita bisa merasa berdosa?
Dalam "Budi Jawi" yang dipentingkan adalah Olah Roso, karena dari Olah Roso, maka kita tahu apakah sebuah perbuatan itu benar atau salah. Untuk memudahkan, perasaan seseorang selalu dikembalikan kepada dirinya sendiri. Sebagai contoh, jika kita memukul orang lain, bagaimana kalau kita dipukul oleh orang lain? Karena rasa sakit itu akan ada kesamaannya, jika kita yang dipukul.
Apakah Dosa dicatat oleh Ghusti?
Ghusti tidak mencatat dosa kita. Yang mencatat adalah diri kita sendiri (Kalau di-analogi-kan saat ini - setiap Manusia membawa Smart Chips nya masing-masing). Semua berpulang pada keikhlasan kita masing-masing. Apakah kita dapat berbuat ikhlas dalam kondisi yang dibalik? Jawabannya ada pada Olah Roso.
Apa itu Roso dalam Budi Jawi?
Roso merupakan sebuah atmosfir dalam diri seseorang yang diterjemahkan oleh hati, panca indra, dan pikiran kita sendiri.
Dapatkah Roso, kita bohongi atau berbohong kepada kita?
Kalau kita menjalankan dengan baik dan ikhlas, serta menggunakan hati nurani, panca indra dan pikiran kita sendiri, maka Roso itu tidak dapat berbohong atau dibohongi.
Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)
Minggu, 08 Mei 2011
Mahluk Halus, Jin, dan Setan
Mahluk Halus
Mereka adalah mahluk yang hidup di dunia ini juga. Cuma bedanya, mereka memiliki frequensi yang berbeda dengan frequensi manusia. Selain itu, zat badan mereka pun, tidak terdiri dari zat-zat yang kasar, seperti yang kita biasa temui di dunia nyata kita ini.
Sehingga tidak mengherankan, jika mereka disebut dengan "Mahluk Halus". Tetapi pada prinsipnya, pola kehiduan sosial mereka secara umum, sama seperti kehidupan kita-kita di dunia nyata ini. Singkat kata, mereka ada yang baik dan ada yang jahat, ada yang pintar dan ada pula yang bodoh. Pola pergaulannya pun hampir sama dengan pola pergaulan manusia secara umum.
Jin
Mereka adalah jenis Mahluk Halus yang termasuk dalam kategori pintar dan pintar sekali, sehingga ada sebagian dari mereka yang dapat berubah wujud, menjadi berpenampilan seperti Manusia Normal.
Dalam kehidupan Jin pun ada yang punya sifat baik dan ada yang memiliki sifat buruk.
Jadi tidak ada alasan memusuhi Jin yang bersifat baik. Tetapi seperti Manusia pula, dimana di dalam kehidupan nyata sehari-hari, kita pun dapat terkecoh oleh copet yang ber-jaz dan ber-dasi.
Seperti dalam kehidupan sehari-hari, kita pun ingat pepatah "Don't See a Book from the Cover". Hal inilah yang membuat kita pun harus terus menjadi lebih waspada terhadap siapapun juga, baik itu Jin atau Manusia sekalipun.
Setan
Mengapa banyak sekali para tokoh agama import yang menyalah artikan "Mahluk Halus", dengan menyamaratakan semua mahluk halus tersebut dengan sebutan "Setan".
Hal ini sebenarnya adalah untuk mengelabuhi orang-orang awam, agar tidak bisa bergaul (Red. Ingat Bukan Menyembah)dengan Mahluk Halus yang baik, dan mau saling tolong menolong dengan Manusia.
Jadi bagi seorang Kejawen, seyogyanya tidak boleh cepat-cepat menghakimi bahwa mereka semua adalah "Setan". Karena "Setan" sesungguhnya adalah sifat yang paling buruk dalam kehidupan di tiga dunia ini (Dunia Nyata, Dunia Mahluk Halus, dan Dunia Maya).
Tokoh agama import tersebut sebenarnya, ingin mengeliminasi pergaulan manusia awam dengan Mahluk Halus (Ada yang baik dan ada yang Jahat). Hal ini dikarenakan, agar Tokoh Agama tersebut dapat memanfaatkan pertolongan "Mahluk Halus" tersebut lebih leluasa, untuk kepentingan dan keuntungan Tokoh Agama import itu sendiri.
Jadi keterangan mereka atau pembelajaran mereka kepada pengikutnya, adalah terbalik dengan apa yang mereka perbuat di balik itu semua.
Catatan:
Romo (Tokoh Agami Jawi) selalu menasehati kita, bahwa jangan pernah buat Janji pada Mahluk Halus. Makna tersebut, sebenarnya sama dengan "Jangan gampang membuat Janji kepada orang lain, karena Jani itu hutang".
Kalau seseorang janji kepada orang lain, pasti orang yang mendapat janji tersebut akan menagih janji tersebut, jika dia butuh janji tersebut. Tetapi karena manusia terikat dengan dimensi waktu dan tempat, maka si penagih janji tidak dapat setiap saat muncul di hadapan orang yang memberi janji tersebut.
Sementara Mahluk Halus tidak mengenal dimensi tempat, sehingga mereka bisa setiap saat menagih janji tersebut, inilah yang sangat mengganggu manusia yang mudah membuat janji tersebut.
Mereka adalah mahluk yang hidup di dunia ini juga. Cuma bedanya, mereka memiliki frequensi yang berbeda dengan frequensi manusia. Selain itu, zat badan mereka pun, tidak terdiri dari zat-zat yang kasar, seperti yang kita biasa temui di dunia nyata kita ini.
Sehingga tidak mengherankan, jika mereka disebut dengan "Mahluk Halus". Tetapi pada prinsipnya, pola kehiduan sosial mereka secara umum, sama seperti kehidupan kita-kita di dunia nyata ini. Singkat kata, mereka ada yang baik dan ada yang jahat, ada yang pintar dan ada pula yang bodoh. Pola pergaulannya pun hampir sama dengan pola pergaulan manusia secara umum.
Jin
Mereka adalah jenis Mahluk Halus yang termasuk dalam kategori pintar dan pintar sekali, sehingga ada sebagian dari mereka yang dapat berubah wujud, menjadi berpenampilan seperti Manusia Normal.
Dalam kehidupan Jin pun ada yang punya sifat baik dan ada yang memiliki sifat buruk.
Jadi tidak ada alasan memusuhi Jin yang bersifat baik. Tetapi seperti Manusia pula, dimana di dalam kehidupan nyata sehari-hari, kita pun dapat terkecoh oleh copet yang ber-jaz dan ber-dasi.
Seperti dalam kehidupan sehari-hari, kita pun ingat pepatah "Don't See a Book from the Cover". Hal inilah yang membuat kita pun harus terus menjadi lebih waspada terhadap siapapun juga, baik itu Jin atau Manusia sekalipun.
Setan
Mengapa banyak sekali para tokoh agama import yang menyalah artikan "Mahluk Halus", dengan menyamaratakan semua mahluk halus tersebut dengan sebutan "Setan".
Hal ini sebenarnya adalah untuk mengelabuhi orang-orang awam, agar tidak bisa bergaul (Red. Ingat Bukan Menyembah)dengan Mahluk Halus yang baik, dan mau saling tolong menolong dengan Manusia.
Jadi bagi seorang Kejawen, seyogyanya tidak boleh cepat-cepat menghakimi bahwa mereka semua adalah "Setan". Karena "Setan" sesungguhnya adalah sifat yang paling buruk dalam kehidupan di tiga dunia ini (Dunia Nyata, Dunia Mahluk Halus, dan Dunia Maya).
Tokoh agama import tersebut sebenarnya, ingin mengeliminasi pergaulan manusia awam dengan Mahluk Halus (Ada yang baik dan ada yang Jahat). Hal ini dikarenakan, agar Tokoh Agama tersebut dapat memanfaatkan pertolongan "Mahluk Halus" tersebut lebih leluasa, untuk kepentingan dan keuntungan Tokoh Agama import itu sendiri.
Jadi keterangan mereka atau pembelajaran mereka kepada pengikutnya, adalah terbalik dengan apa yang mereka perbuat di balik itu semua.
Catatan:
Romo (Tokoh Agami Jawi) selalu menasehati kita, bahwa jangan pernah buat Janji pada Mahluk Halus. Makna tersebut, sebenarnya sama dengan "Jangan gampang membuat Janji kepada orang lain, karena Jani itu hutang".
Kalau seseorang janji kepada orang lain, pasti orang yang mendapat janji tersebut akan menagih janji tersebut, jika dia butuh janji tersebut. Tetapi karena manusia terikat dengan dimensi waktu dan tempat, maka si penagih janji tidak dapat setiap saat muncul di hadapan orang yang memberi janji tersebut.
Sementara Mahluk Halus tidak mengenal dimensi tempat, sehingga mereka bisa setiap saat menagih janji tersebut, inilah yang sangat mengganggu manusia yang mudah membuat janji tersebut.
Sabtu, 07 Mei 2011
Kesamaan dan Perbedaan Agami Jawi dengan Beberapa Agama-agama di Dunia lainnya Kesamaan
* Tuhan Yang Maha Esa berada di atas segala-galanya.
* Sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Perbedaan
* Kedjawen tidak mempunyai Standar Ganda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Agami Jawi, Tuhan Maha Segala-galanya dan Maha Menyayangi Ciptaannya. Karena Maha Segala-galanya, Tuhan Yang Maha Esa tidak Bodoh, seperti yang dituduhkan Agama Pendatang, dimana Tuhan Yang Maha Esa hanya mengerti "Satu Bahasa" untuk menerima Doa dari Manusia Ciptaannya, kalau memang Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa mengerti "Satu Bahasa" atau hanya mau mengerti "Satu Bahasa", maka sama saja mereka mengatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak lagi "Maha Segala-galanya dan Maha Menyayangi Ciptaannya".
* Bagi Seorang Kejawen Sejati, yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah menghukum. Oleh karenanya, Seorang Kejawen Sejati terus menjalani "Olah Roso" untuk dapat ikhlas, memuji, menyembah, beryukur, berpasrah, memohon ditunjukan kebaikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mengukum demi kebaikan itu hanya ada dalam sudut pandang pikiran Manusia, sementara Tuhan Yang Maha Esa bukanlah manusia.
* PUJIAN dan MENYEMBAH kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan bahasa, gerak, pikiran, dan hati nurani, tidak dapat diseragamkan, seperti gerak tertentu dan bahasa tertentu. Bagi Seorang Kejawen, berdoa selalu dengan Bahasa Ibu. Karena, kita sama-sama tahu, bahwa Tuhan Yang Maha Esa, adalah maha tahu dan maha segala-galanya, sehingga Tuhan Yang Maha Esa sudah tahu sebelum kita tahu dan mengungkapkannya dengan kata-kata.
* Dengan keyakinan niat yang positif, didapat dengan OlahRoso, berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa, TIDAK DIPERLUKAN PERANTARAAN APA DAN SIAPAPUN . Hubungan komunikasi inilah, yang justru akan menciptakan ketenangan yang lebih esensial. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan Nabi/Rasul sebagai perantaranya.
* PUJIAN dan RASA TERIMAKASIH kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga dibarengi dengan menghormati Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb). Karena Kedjawen tidak menempatkan manusia (dirinya) sebagai mahluk yang paling sempurna dibanding dengan lainnya. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan Manusia sebagai mahluk sempurna, dibanding maluk lainnya di Dunia ini.
* BERDERMA tidak bisa dihitung dengan matematis, tetapi dengan keikhlasan. Sebagai mahluk yang tumbuh dari titipan Tuhan, maka keikhlasan bisa diperoleh dengan cara OlahRoso. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan hukum matematis, untuk berderma.
* AGAMA LAIN menggunakan KITAB SUCI-nya sebagai acuan bagi penganutnya untuk berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bagi AGAMI JAWI, Seorang Kejawen justru dituntut untuk mendekatkan dirinya sendiri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara Olah Roso yang ikhlas, agar mendapatkan jalan menuju Manunggaling Kawulo Ghusti. Sementara, Agama di Dunia mengatakan bahwa KITAB SUCI adalah buatan Tuhan Yang Maha Esa.
Catatan :
Kalau diibaratkan mainan (esensinya; semua orang pada saat kecilnya mempunyai kecintaan pada sesuatu - bisa konkrit maupun imajinatif - melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri)
Maka, ibarat beberapa agama-agama di dunia lainnya adalah sebuah rumah-rumahan yang sudah jadi (si anak tinggal memainkannya), sementara Agama Jawi adalah rumah-rumahan yang dibuat dari Lego (atas kreasi keseimbangan anak itu sendiri – antara pikiran dan hatinya). Lagi-lagi yang perlu untuk diingat, Tuhan Yang Maha Esa, adalah maha tahu dan maha segala-galanya, sehingga Tuhan Yang Maha Esa sudah tahu sebelum kita ingin memberitahukan kepada Nya.
* Sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Perbedaan
* Kedjawen tidak mempunyai Standar Ganda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Agami Jawi, Tuhan Maha Segala-galanya dan Maha Menyayangi Ciptaannya. Karena Maha Segala-galanya, Tuhan Yang Maha Esa tidak Bodoh, seperti yang dituduhkan Agama Pendatang, dimana Tuhan Yang Maha Esa hanya mengerti "Satu Bahasa" untuk menerima Doa dari Manusia Ciptaannya, kalau memang Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa mengerti "Satu Bahasa" atau hanya mau mengerti "Satu Bahasa", maka sama saja mereka mengatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak lagi "Maha Segala-galanya dan Maha Menyayangi Ciptaannya".
* Bagi Seorang Kejawen Sejati, yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah menghukum. Oleh karenanya, Seorang Kejawen Sejati terus menjalani "Olah Roso" untuk dapat ikhlas, memuji, menyembah, beryukur, berpasrah, memohon ditunjukan kebaikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mengukum demi kebaikan itu hanya ada dalam sudut pandang pikiran Manusia, sementara Tuhan Yang Maha Esa bukanlah manusia.
* PUJIAN dan MENYEMBAH kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan bahasa, gerak, pikiran, dan hati nurani, tidak dapat diseragamkan, seperti gerak tertentu dan bahasa tertentu. Bagi Seorang Kejawen, berdoa selalu dengan Bahasa Ibu. Karena, kita sama-sama tahu, bahwa Tuhan Yang Maha Esa, adalah maha tahu dan maha segala-galanya, sehingga Tuhan Yang Maha Esa sudah tahu sebelum kita tahu dan mengungkapkannya dengan kata-kata.
* Dengan keyakinan niat yang positif, didapat dengan OlahRoso, berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa, TIDAK DIPERLUKAN PERANTARAAN APA DAN SIAPAPUN . Hubungan komunikasi inilah, yang justru akan menciptakan ketenangan yang lebih esensial. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan Nabi/Rasul sebagai perantaranya.
* PUJIAN dan RASA TERIMAKASIH kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga dibarengi dengan menghormati Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb). Karena Kedjawen tidak menempatkan manusia (dirinya) sebagai mahluk yang paling sempurna dibanding dengan lainnya. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan Manusia sebagai mahluk sempurna, dibanding maluk lainnya di Dunia ini.
* BERDERMA tidak bisa dihitung dengan matematis, tetapi dengan keikhlasan. Sebagai mahluk yang tumbuh dari titipan Tuhan, maka keikhlasan bisa diperoleh dengan cara OlahRoso. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan hukum matematis, untuk berderma.
* AGAMA LAIN menggunakan KITAB SUCI-nya sebagai acuan bagi penganutnya untuk berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bagi AGAMI JAWI, Seorang Kejawen justru dituntut untuk mendekatkan dirinya sendiri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara Olah Roso yang ikhlas, agar mendapatkan jalan menuju Manunggaling Kawulo Ghusti. Sementara, Agama di Dunia mengatakan bahwa KITAB SUCI adalah buatan Tuhan Yang Maha Esa.
Catatan :
Kalau diibaratkan mainan (esensinya; semua orang pada saat kecilnya mempunyai kecintaan pada sesuatu - bisa konkrit maupun imajinatif - melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri)
Maka, ibarat beberapa agama-agama di dunia lainnya adalah sebuah rumah-rumahan yang sudah jadi (si anak tinggal memainkannya), sementara Agama Jawi adalah rumah-rumahan yang dibuat dari Lego (atas kreasi keseimbangan anak itu sendiri – antara pikiran dan hatinya). Lagi-lagi yang perlu untuk diingat, Tuhan Yang Maha Esa, adalah maha tahu dan maha segala-galanya, sehingga Tuhan Yang Maha Esa sudah tahu sebelum kita ingin memberitahukan kepada Nya.
Jumat, 06 Mei 2011
Bahasa untuk Doa dan Sembahyang
Saya memang cenderung menggunakan kosa kata bahasa Indonesia dalam blog ini, dan bukan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan, Agama Jawi adalah bukan Agamanya orang Jawa saja, karena Jawi itu bukan berarti Jawa. Tetapi, “Jawi” mempunyai makna “Memiliki Budi Pekerti Yang Luhur” yang didalamnya sarat dengan muatan “Keseimbangan dan Kebahagiaan Hidup.”
Apa yang membuat kita dapat merasa dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, ketika kita berdoa atau sembahyang menghadap Nya?
- Kita harus mengerti terlebih dahulu, makna apa yang ingin kita lafalkan (baik dalam hati, maupun diucapan dengan kata-kata). Karena hal ini, merupakan proses antara “Alam Sadar dan Alam Bawah Sadar” kita, bahwa kita benar-benar membutuhkan Ghusti.
- Dengan mengerti dan menghayatinya secara alami, hal ini akan membuat “Alam Bawah Sadar” kita dapat menangkap dan merespon makna tersebut dengan benar, ketika kita mengucapkan kata-kata yang memang kita mengerti dan menghayatinya sejak kita kecil, atau disebut dengan menggunakan bahasa Ibu.
- Dengan menggunakan bahasa Ibu, ibarat kita hidup di dunia ini, orang yang pertama memberikan kesempatan untuk kita melanjutkan hidup kita adalah Ibu. Oleh sebabnya, Ibu diberikan kemampuan oleh Ghusti, untuk dapat menyusui anaknya. Di lain pihak, bahasa Ibu pun, adalah bahasa yang pertama didengar oleh “Alam Bawah Sadar” kita, sejak kita berada dalam kandungannya.
- Jadi, dengan menggunakan bahasa Ibu, sudah pasti, kita mengerti dan menghayati secara alami tanpa pemaksaan, makna dari kosa kata yang kita lafalkan.
- Kekuatan pengertian antara “Alam Sadar dan Alam Bawah Sadar” kita, adalah sebuah kekuatan yang jika digunakan dengan keikhlasan kepada Ghusti, maka hasilnya pun akan menghasilkan segala sesuatu yang positif.
Mengapa ada beberapa Agama yang mengharuskan berdoa atau sembahyangnya dengan bahasa tertentu?
- Memang, setiap bahasa memiliki kekuatan atau ruh dari bahasa itu sendiri, dalam menjelaskan sesuatu. Seperti kita tahu, bahasa Jerman ruhnya adalah mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tehnik, dimana kita tahu, kosa kata mengenai hal-hal tehnik, tidak ada bahasa yang sekomplit bahasa Jerman. Di sini lain, bahasa Prancis, memiliki kekuatan atau ruh bahasa “Cinta”, artinya, bahasa Prancis memiliki kosa kata yang lebih komplit, mengenai hal-hal yang berhubungan dengan “Cinta”, jika dibandingkan dengan bahasa lainnya.
- Selain itu, yang perlu kita ketahui bersama, bahwa bahasa Jawa adalah bahasa yang juga diakui oleh dunia internasional, sebagai bahasa pergaulan yang paling komplit di dunia. Tetapi, Agama Jawi tidak memaksakan untuk digunakan oleh seorang Kejawen. Hal ini jelas, dengan menggunakan bahasa Ibu, kita akan lebih mendapatkan ketenangan bathin, karena kita akan dapat benar-benar berkomunikasi dengan Nya.
Bolehkah kita Berdoa dan Sembahyang dalam bahasa Ibu?
- Tidak saja dibolehkan, tapi justru diharuskan. Hal ini karena, agar kita bisa mendapatkan rasa kedekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebabnya, kita tidak perlu menghafal dan menghayatinya lagi makna kosa kata yang akan kita lafalkan.
- Proses mengerti dan menghayati “Makna Kosa Kata” secara alami, akan menghasilkan keikhlasan yang alami pula dari dalam diri kita.
Catatan:
Mahluk Halus atau mahluk Ghaib saja, mengerti apa yang dimaksud oleh seluruh manusia di muka bumi ini. Lalu bagaimana dengan Tuhan Yang Maha Esa? Tuhan Yang Maha Esa, tidak hanya mengerti setelah diucapkan oleh manusia, tetapi Tuhan Yang Maha Esa sudah lebih tahu sebelum kita ucapkan sekalipun.
Apa yang membuat kita dapat merasa dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, ketika kita berdoa atau sembahyang menghadap Nya?
- Kita harus mengerti terlebih dahulu, makna apa yang ingin kita lafalkan (baik dalam hati, maupun diucapan dengan kata-kata). Karena hal ini, merupakan proses antara “Alam Sadar dan Alam Bawah Sadar” kita, bahwa kita benar-benar membutuhkan Ghusti.
- Dengan mengerti dan menghayatinya secara alami, hal ini akan membuat “Alam Bawah Sadar” kita dapat menangkap dan merespon makna tersebut dengan benar, ketika kita mengucapkan kata-kata yang memang kita mengerti dan menghayatinya sejak kita kecil, atau disebut dengan menggunakan bahasa Ibu.
- Dengan menggunakan bahasa Ibu, ibarat kita hidup di dunia ini, orang yang pertama memberikan kesempatan untuk kita melanjutkan hidup kita adalah Ibu. Oleh sebabnya, Ibu diberikan kemampuan oleh Ghusti, untuk dapat menyusui anaknya. Di lain pihak, bahasa Ibu pun, adalah bahasa yang pertama didengar oleh “Alam Bawah Sadar” kita, sejak kita berada dalam kandungannya.
- Jadi, dengan menggunakan bahasa Ibu, sudah pasti, kita mengerti dan menghayati secara alami tanpa pemaksaan, makna dari kosa kata yang kita lafalkan.
- Kekuatan pengertian antara “Alam Sadar dan Alam Bawah Sadar” kita, adalah sebuah kekuatan yang jika digunakan dengan keikhlasan kepada Ghusti, maka hasilnya pun akan menghasilkan segala sesuatu yang positif.
Mengapa ada beberapa Agama yang mengharuskan berdoa atau sembahyangnya dengan bahasa tertentu?
- Memang, setiap bahasa memiliki kekuatan atau ruh dari bahasa itu sendiri, dalam menjelaskan sesuatu. Seperti kita tahu, bahasa Jerman ruhnya adalah mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tehnik, dimana kita tahu, kosa kata mengenai hal-hal tehnik, tidak ada bahasa yang sekomplit bahasa Jerman. Di sini lain, bahasa Prancis, memiliki kekuatan atau ruh bahasa “Cinta”, artinya, bahasa Prancis memiliki kosa kata yang lebih komplit, mengenai hal-hal yang berhubungan dengan “Cinta”, jika dibandingkan dengan bahasa lainnya.
- Selain itu, yang perlu kita ketahui bersama, bahwa bahasa Jawa adalah bahasa yang juga diakui oleh dunia internasional, sebagai bahasa pergaulan yang paling komplit di dunia. Tetapi, Agama Jawi tidak memaksakan untuk digunakan oleh seorang Kejawen. Hal ini jelas, dengan menggunakan bahasa Ibu, kita akan lebih mendapatkan ketenangan bathin, karena kita akan dapat benar-benar berkomunikasi dengan Nya.
Bolehkah kita Berdoa dan Sembahyang dalam bahasa Ibu?
- Tidak saja dibolehkan, tapi justru diharuskan. Hal ini karena, agar kita bisa mendapatkan rasa kedekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebabnya, kita tidak perlu menghafal dan menghayatinya lagi makna kosa kata yang akan kita lafalkan.
- Proses mengerti dan menghayati “Makna Kosa Kata” secara alami, akan menghasilkan keikhlasan yang alami pula dari dalam diri kita.
Catatan:
Mahluk Halus atau mahluk Ghaib saja, mengerti apa yang dimaksud oleh seluruh manusia di muka bumi ini. Lalu bagaimana dengan Tuhan Yang Maha Esa? Tuhan Yang Maha Esa, tidak hanya mengerti setelah diucapkan oleh manusia, tetapi Tuhan Yang Maha Esa sudah lebih tahu sebelum kita ucapkan sekalipun.
Kamis, 05 Mei 2011
Bertamu ke Rumah Orang
Jika kita bertamu ke rumah orang, dan mengetuk pintunya,kita wajib meng ucapkannya “Sepada”. Artinya, permisi siapa yang ada di dalam? (pemilik rumah, atau penghuni rumah lainnya termasuk mahluk Gaib)
Catatan:
Apakah mahluk Gaib mengerti bahasa manusia – seperti “Sepada” misalnya? Mereka tidak menggunakan oral vocabulary, tetapi mereka memahami dan menterjemahkan getaran / gelombang yang keluar dari manusia. Sehingga, dimanapun mereka berada, mereka mengerti apa yang dibicarakan atau dimaksud oleh manusia.
Catatan:
Apakah mahluk Gaib mengerti bahasa manusia – seperti “Sepada” misalnya? Mereka tidak menggunakan oral vocabulary, tetapi mereka memahami dan menterjemahkan getaran / gelombang yang keluar dari manusia. Sehingga, dimanapun mereka berada, mereka mengerti apa yang dibicarakan atau dimaksud oleh manusia.
Rabu, 04 Mei 2011
Masuk ke Rumah Sendiri
Membuka pintu dengan mengucapkan dalam hati “Terimakasih Ghusti, ingsun tiba di rumah dengan selamat”
Mengapa tidak mengucapkan salam? Hal ini dikarenakan, kita memasuki tempat tinggal kita (bisa rumah sendiri atau kontrak), agar penghuni halus lainnya mengetahui bahwa mereka adalah tamu bukan tuan rumah. Sebab, jika kita masuk ke tempat tinggal kita dengan mengucapkan salam, maka penghuni halus merasa dirinyalah yang menjadi tuan rumah. Dengan demikian, mereka mempunyai hak mengusir atau mengganggu tamunya.
Memang untuk masuk tempat tinggal kita (rumah sendiri atau kontrak) untuk pertama kalinya, saat pindahan, kita harus minta izin terlebih dahulu.
Catatan:
Kosa kata Salam sudah dikenal jauh sebelum Masehi
Orang Kristen(Masehi) mengucapkan kata Shalom (terjemahannya salam), Orang Islam (Abad ke 6) mengucapkan Assalammuailaikum
Mengapa tidak mengucapkan salam? Hal ini dikarenakan, kita memasuki tempat tinggal kita (bisa rumah sendiri atau kontrak), agar penghuni halus lainnya mengetahui bahwa mereka adalah tamu bukan tuan rumah. Sebab, jika kita masuk ke tempat tinggal kita dengan mengucapkan salam, maka penghuni halus merasa dirinyalah yang menjadi tuan rumah. Dengan demikian, mereka mempunyai hak mengusir atau mengganggu tamunya.
Memang untuk masuk tempat tinggal kita (rumah sendiri atau kontrak) untuk pertama kalinya, saat pindahan, kita harus minta izin terlebih dahulu.
Catatan:
Kosa kata Salam sudah dikenal jauh sebelum Masehi
Orang Kristen(Masehi) mengucapkan kata Shalom (terjemahannya salam), Orang Islam (Abad ke 6) mengucapkan Assalammuailaikum
Selasa, 03 Mei 2011
Dosakah seorang Kejawen pindah ke Agama lain?
Tidak ada satu orang pun yang berhak untuk menghakimi seorang Kejawen, yang pindah ke Agama lain. Karena Tuhan Yang Maha Esa, memberikan kita Hati dan Pikiran, yangmana itu semua, sudah diserahkannya sejak kita lahir di muka bumi.
Dengan kepindahannya dari Agama Jawi ke Agama lain, ini berarti ia memilih pola hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dan bagaimana dirinya menempatkan Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Apakah dirinya ingin memiliki hubungan yang langsung dengan Tuhan Yang Maha Esa (tetap pada keyakinan Agama Jawi), atau dengan “Perantara” (pindah ke agama Rasul).
Catatan :
Agama Rasul menempatkan Rasul sebagai “Perantara” komunikasi, antara dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya, dalam sembahyang atau doa mereka, mereka tidak lupa menyebutkan atau bahkan mendoakan para “Perantara” mereka terlebih dahulu, sebelum memberikan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di lain pihak, hal tersebut sebagai wujud eksistensi mereka, bahwa mereka ada di jalur “Perantara” yang mana.
Dengan kepindahannya dari Agama Jawi ke Agama lain, ini berarti ia memilih pola hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dan bagaimana dirinya menempatkan Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Apakah dirinya ingin memiliki hubungan yang langsung dengan Tuhan Yang Maha Esa (tetap pada keyakinan Agama Jawi), atau dengan “Perantara” (pindah ke agama Rasul).
Catatan :
Agama Rasul menempatkan Rasul sebagai “Perantara” komunikasi, antara dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya, dalam sembahyang atau doa mereka, mereka tidak lupa menyebutkan atau bahkan mendoakan para “Perantara” mereka terlebih dahulu, sebelum memberikan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di lain pihak, hal tersebut sebagai wujud eksistensi mereka, bahwa mereka ada di jalur “Perantara” yang mana.
Senin, 02 Mei 2011
Catatan Penting bagi seorang Kejawen
Dari mayoritas blog yang mengatasnamakan untuk kepentingan Kejawen, ternyata mereka adalah milik orang-orang beragama Rasul, yang intinya ingin memutarbalikan fakta "Agami Jawi"
Bagi yang ingin memeluk "Agami Jawi" apapun suku bangsa Anda, Anda hanya perlu dengan mencoba dengan Olah Roso.
Agami Jawi adalah agama yang benar-benar mempercayai dan meyakini kebesaran Ghusti.
Sesungguhnya tidak ada yang namanya Kejawen Hindu, Kejawen Budha, Kejawen Islam ataupun Kejawen Kristen.
Nilai-nilai Agami Jawi memang sudah digeser oleh agama-agama pendatang. Agami Jawi adalah agama yang sudah tumbuh berkembang, jauh sebelum agama-agama import itu datang ke Indonesia.
Mengapa begitu?
Orang Jawa yang terkenal dengan sifatnya yang senkretis, sehingga hal ini dimanfaatkan oleh orang-orang pembawa Agama Import tersebut, agar nilai-nilai mereka dapat diterima oleh Agami Jawi, maka mereka mencoba untuk mengawinkan Agama mereka dengan Agami Jawi yang sudah tumbuh jauh lebih lama dari Agama mereka.
Dan, setelah Soeharto jatuh, mereka (pemeluk Agama Import) menganggap sudah sangat kuat, sehingga mereka berniat untuk menggeser Agami Jawi dari Bumi Nusantara ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ancaman, baik fisik maupun non fisik yang mereka lakukan kepada orang-orang awam di Indonesia.
Dengan keteguhan Para Kejawen Sejati sepertia Anda, saya yakin, Agami Jawi lambat laun akan menjadi tuan rumah kembali di tanah kelahirannya sendiri.
Bagi yang ingin memeluk "Agami Jawi" apapun suku bangsa Anda, Anda hanya perlu dengan mencoba dengan Olah Roso.
Agami Jawi adalah agama yang benar-benar mempercayai dan meyakini kebesaran Ghusti.
Sesungguhnya tidak ada yang namanya Kejawen Hindu, Kejawen Budha, Kejawen Islam ataupun Kejawen Kristen.
Nilai-nilai Agami Jawi memang sudah digeser oleh agama-agama pendatang. Agami Jawi adalah agama yang sudah tumbuh berkembang, jauh sebelum agama-agama import itu datang ke Indonesia.
Mengapa begitu?
Orang Jawa yang terkenal dengan sifatnya yang senkretis, sehingga hal ini dimanfaatkan oleh orang-orang pembawa Agama Import tersebut, agar nilai-nilai mereka dapat diterima oleh Agami Jawi, maka mereka mencoba untuk mengawinkan Agama mereka dengan Agami Jawi yang sudah tumbuh jauh lebih lama dari Agama mereka.
Dan, setelah Soeharto jatuh, mereka (pemeluk Agama Import) menganggap sudah sangat kuat, sehingga mereka berniat untuk menggeser Agami Jawi dari Bumi Nusantara ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ancaman, baik fisik maupun non fisik yang mereka lakukan kepada orang-orang awam di Indonesia.
Dengan keteguhan Para Kejawen Sejati sepertia Anda, saya yakin, Agami Jawi lambat laun akan menjadi tuan rumah kembali di tanah kelahirannya sendiri.
Minggu, 01 Mei 2011
Etimologi
Kejawen adalah sebuah Agama Lokal pertama yang lahir di Indonesia, yang dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa, dan sukubangsa lainnya yang tinggal atau menetap di pulau Jawa.
Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawi, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia, yaitu seorang yang Berbudi Luhur. Sehingga Kejawen juga sebagai sebutan/predikat bagi pemeluk "Agami Jawi", sebagai contoh, seperti pemeluk agama Islam disebut sebagai Muslim.
Dalam konteks umum, kejawen merupakan Agama lokal Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang Agama ini, dalam bukunya yang ternama The Religion of Java atau dalam bahasa lain, Kejawen disebut "Agami Jawi".
Penganut ajaran untuk Kejawen biasanya, menganggap ajarannya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah prilaku orang yang beradap.
Ajaran kejawen biasanya bertumpu pada konsep "Keseimbangan". Dalam pandangan demikian, Kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya.
Tetapi kini, bagi Kejawen Sejati, dengan Olah Roso, kita paham bahwa untuk berkomunikasi dengan Ghusti, kita dapat menggunakan suara hati, apapun bahasanya.
Catatan :
Agami Jawi, tidak menjadi monopoli orang-orang Jawa semata. Agami Jawi, Agamanya orang-orang yang ingin dapat Berbudi Luhur... Bahkan Agami Jawi ini, dapat diterapkan di belahan dunia manapun.
Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawi, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia, yaitu seorang yang Berbudi Luhur. Sehingga Kejawen juga sebagai sebutan/predikat bagi pemeluk "Agami Jawi", sebagai contoh, seperti pemeluk agama Islam disebut sebagai Muslim.
Dalam konteks umum, kejawen merupakan Agama lokal Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang Agama ini, dalam bukunya yang ternama The Religion of Java atau dalam bahasa lain, Kejawen disebut "Agami Jawi".
Penganut ajaran untuk Kejawen biasanya, menganggap ajarannya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah prilaku orang yang beradap.
Ajaran kejawen biasanya bertumpu pada konsep "Keseimbangan". Dalam pandangan demikian, Kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya.
Tetapi kini, bagi Kejawen Sejati, dengan Olah Roso, kita paham bahwa untuk berkomunikasi dengan Ghusti, kita dapat menggunakan suara hati, apapun bahasanya.
Catatan :
Agami Jawi, tidak menjadi monopoli orang-orang Jawa semata. Agami Jawi, Agamanya orang-orang yang ingin dapat Berbudi Luhur... Bahkan Agami Jawi ini, dapat diterapkan di belahan dunia manapun.
Sabtu, 30 April 2011
Catatan
Mantra dan Doa
Saya menggantikan kata mantra dengan doa, hal ini jelas alasannya. Bagi orang yang mengaku seorang Kejawen, tetapi mereka mengatakan doanya sebagai mantra, dapat dipastikan bahwa mereka, secara sengaja atau tidak sengaja terpengaruh oleh kelompok/golongan, yang ingin mendiskriditkan atau memutarbalikan fakta, sehingga orang menganggap bahwa Kejawen itu adalah sebagai aliran Kebatinan / Ilmu Hitam / Penyembah Berhala.
Jadi, bagi Anda yang mempelajari Agami Jawi dari sumber-sumber yang tidak jelas. Jika mereka menyebut Mantra, sebaik apapun prolog dari tulisan itu, dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang dari agama lain, yang ingin merusak makna luhurnya Agami Jawi.
Allah dan Ghusti
Kita sama-sama sepakat bahwa Tuhan sebagai “Yang Maha Pencipta” adalah Esa, sehingga seperti Air, kita pun dapat menyebut dalam bahasa Inggris; Water, atau dalam bahasa Jerman; Wasser, tetapi inti semuanya adalah sama, yakni H2O. Jadi, makna intinya adalah, jika Tuhan kita sapa dengan bahasa apapun, maka yang dimaksud adalah tetap Tuhan Yang Maha Esa. Berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa saat kita menyembahNya, merupakan hubungan yang unik bagi setiap individu. Saya pribadi menggunakan kosa kata Ghusti untuk menyembahNya.
Kanuragan
Orang-orang yang ingin menyesatkan pemahaman Agami Jawi, mereka memutarbalikan fakta, dengan menyisipkan kedalam ajaran Kejawen, yakni "metode praktis untuk melatih ilmu tenaga dalam". Padahal ilmu itu adalah, ilmu bela diri tradisional orang-orang Jawa yang disebut Kanuragan. Jadi Kanuragan sama sekali bukan bagian dari Agama Jawi, karena Agama Jawi tidak mengajarkan seseorang untuk perang. Dan anehnya, para penganut Kanuragan, ternyata banyak yang melafalkan Mantra mereka dengan bahasa Arab.
Saya menggantikan kata mantra dengan doa, hal ini jelas alasannya. Bagi orang yang mengaku seorang Kejawen, tetapi mereka mengatakan doanya sebagai mantra, dapat dipastikan bahwa mereka, secara sengaja atau tidak sengaja terpengaruh oleh kelompok/golongan, yang ingin mendiskriditkan atau memutarbalikan fakta, sehingga orang menganggap bahwa Kejawen itu adalah sebagai aliran Kebatinan / Ilmu Hitam / Penyembah Berhala.
Jadi, bagi Anda yang mempelajari Agami Jawi dari sumber-sumber yang tidak jelas. Jika mereka menyebut Mantra, sebaik apapun prolog dari tulisan itu, dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang dari agama lain, yang ingin merusak makna luhurnya Agami Jawi.
Allah dan Ghusti
Kita sama-sama sepakat bahwa Tuhan sebagai “Yang Maha Pencipta” adalah Esa, sehingga seperti Air, kita pun dapat menyebut dalam bahasa Inggris; Water, atau dalam bahasa Jerman; Wasser, tetapi inti semuanya adalah sama, yakni H2O. Jadi, makna intinya adalah, jika Tuhan kita sapa dengan bahasa apapun, maka yang dimaksud adalah tetap Tuhan Yang Maha Esa. Berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa saat kita menyembahNya, merupakan hubungan yang unik bagi setiap individu. Saya pribadi menggunakan kosa kata Ghusti untuk menyembahNya.
Kanuragan
Orang-orang yang ingin menyesatkan pemahaman Agami Jawi, mereka memutarbalikan fakta, dengan menyisipkan kedalam ajaran Kejawen, yakni "metode praktis untuk melatih ilmu tenaga dalam". Padahal ilmu itu adalah, ilmu bela diri tradisional orang-orang Jawa yang disebut Kanuragan. Jadi Kanuragan sama sekali bukan bagian dari Agama Jawi, karena Agama Jawi tidak mengajarkan seseorang untuk perang. Dan anehnya, para penganut Kanuragan, ternyata banyak yang melafalkan Mantra mereka dengan bahasa Arab.
Jumat, 29 April 2011
Kejawen - Bukan Aliran Kebatinan
Agama Pendatang selalu membuat opini, bahwa Kejawen itu adalah "Aliran Kebatinan".
Hal ini dilakukan oleh Agama Pendatang, agar para penganut Kejawen yang masih muda, dan tidak tahu apa-apa, merasa malu untuk mengatakan bahwa dirinya adalah Seorang Kejawen.
Sebab, jika Kejawen itu benar-benar Ilmu Kebatinan, pernyataan diri sebagai Seorang Kejawen merupakan pernyataan yang setara dengan "Saya adalah Dukun"
Dengan opini tersebut, ternyata Agama Pendatang berhasil membuat orang-orang Jawa yang dikenal sangat mempunyai sifat merendah tersebut enggan menyatakan dirinya sebagai Seorang Kejawen.
Padahal pada kenyataanya. Dari penelitian kecil seorang dosen saya, yang seorang Profesor Doktor, menyatakan bahwa dari 100 responden (yang Paranormal), tidak ada satupun Paranormal tersebut yang membacakan mantra-mantranya dengan bahasa Jawa. Mereka - Paranormal, membacakan mantra-mantranya dengan bahasa dan tulisan Arab.
Hal ini dilakukan oleh Agama Pendatang, agar para penganut Kejawen yang masih muda, dan tidak tahu apa-apa, merasa malu untuk mengatakan bahwa dirinya adalah Seorang Kejawen.
Sebab, jika Kejawen itu benar-benar Ilmu Kebatinan, pernyataan diri sebagai Seorang Kejawen merupakan pernyataan yang setara dengan "Saya adalah Dukun"
Dengan opini tersebut, ternyata Agama Pendatang berhasil membuat orang-orang Jawa yang dikenal sangat mempunyai sifat merendah tersebut enggan menyatakan dirinya sebagai Seorang Kejawen.
Padahal pada kenyataanya. Dari penelitian kecil seorang dosen saya, yang seorang Profesor Doktor, menyatakan bahwa dari 100 responden (yang Paranormal), tidak ada satupun Paranormal tersebut yang membacakan mantra-mantranya dengan bahasa Jawa. Mereka - Paranormal, membacakan mantra-mantranya dengan bahasa dan tulisan Arab.
Label:
Agama,
Agama Pendatang,
Agami Jawi,
Catatan,
Dukun,
Kebatinan
Kamis, 28 April 2011
Agami Jawi - Bukan Ilmu Kebatinan
Bagi kebanyakan orang, Kejawen hanya dianggap sebagai kebudayaan, sehingga pada akhirnya pun pengurusan Kejawen dimasukan kepada Departemen Kebudayaan.
Hal ini memang merupakan pembusukan yang terstruktur terhadap "Agami Jawi" itu sendiri.
Agama Jawi merupakan Agama yang bertumpu pada Olah Roso, atau dengan kata lain, bertumpu pada pengolahan "Bathin".
Banyak pembodohan yang dilakukan oleh Agama-agama Pendatang, karena mereka sangat berkepentingan bagi perluasan agama mereka sendiri, yang pada akhirnya mereka pun memiliki kepentingan bagi perluasan secara Ekonomi.
Istilah Batin dan Kebatinan adalah dua hal yang sangat berbeda. Tetapi dengan kepintaran Agama Pendatang memelintir itu semua, membuat nasib Kejawen seperti sekarang ini.
Olah Batin itu memiliki ruang yang luas; ada yang untuk mengenali diri sendiri yakni Olah Roso, sementara ada juga yang untuk pengobatan seperti Reiki misalnya.
Reiki saja yang jelas-jelas bukan sebuah Agama, saya pernah menanyakan kepada beberapa anggota dari komunitas mereka. Apakah Reiki itu adalah Kebatinan? Mereka dengan tegas menyatakan Olah Batin bukanlah Kebatinan, seperti yang sering dikatakan oleh orang-orang dari Agama Import.
Hal ini memang merupakan pembusukan yang terstruktur terhadap "Agami Jawi" itu sendiri.
Agama Jawi merupakan Agama yang bertumpu pada Olah Roso, atau dengan kata lain, bertumpu pada pengolahan "Bathin".
Banyak pembodohan yang dilakukan oleh Agama-agama Pendatang, karena mereka sangat berkepentingan bagi perluasan agama mereka sendiri, yang pada akhirnya mereka pun memiliki kepentingan bagi perluasan secara Ekonomi.
Istilah Batin dan Kebatinan adalah dua hal yang sangat berbeda. Tetapi dengan kepintaran Agama Pendatang memelintir itu semua, membuat nasib Kejawen seperti sekarang ini.
Olah Batin itu memiliki ruang yang luas; ada yang untuk mengenali diri sendiri yakni Olah Roso, sementara ada juga yang untuk pengobatan seperti Reiki misalnya.
Reiki saja yang jelas-jelas bukan sebuah Agama, saya pernah menanyakan kepada beberapa anggota dari komunitas mereka. Apakah Reiki itu adalah Kebatinan? Mereka dengan tegas menyatakan Olah Batin bukanlah Kebatinan, seperti yang sering dikatakan oleh orang-orang dari Agama Import.
Label:
Agama,
Agama Pendatang,
Agami Jawi,
Catatan,
Kebatinan,
Kebudayaan,
Kejawen
Rabu, 27 April 2011
Reiki adalah Ilmu Kebatinan?
Cara Pengobatan Energi (energy healing / energy medicine) dengan cara menyalurkan energi ke dalam tubuh manusia yang sakit.
Reiki berasal dari kata “Rei” yang berarti kearifan spiritual, yang secara umum bermakna alam semesta. Rei dapat juga diartikan sebagai pengetahuan supernatural atau kesadaran spiritual yang merupakan kearifan yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk mencapai kesadaran yang dapat memahami setiap orang, serta mengetahui segala penyebab masalah dan kesulitan, sekaligus mengetahui bagaimana cara penyembuhanya, dengan cara Olah Roso (Olah Batin), agar seseorang mendapatkan Energi tersebut.
Apakah dengan Olah Batin ini, maka Reiki dapat disebut sebagai Ilmu Kebatinan? Seperti yang dituduhkan oleh Agama Pendatang kepada Kejawen.
Catatan:
Kekejian Agama Pendatang memutar balikan antara makna Olah Batin dengan Kebatinan adalah ulah yang tidak terpuji. Dapat dipastikan, bahwa orang-orang yang memutarbalikan fakta tersebut, adalah bukan orang-orang yang memeluk Agama Tuhan. Atau bahkan mungkin, orang-orang tersebut justru menganut Agama Setan.
Reiki berasal dari kata “Rei” yang berarti kearifan spiritual, yang secara umum bermakna alam semesta. Rei dapat juga diartikan sebagai pengetahuan supernatural atau kesadaran spiritual yang merupakan kearifan yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk mencapai kesadaran yang dapat memahami setiap orang, serta mengetahui segala penyebab masalah dan kesulitan, sekaligus mengetahui bagaimana cara penyembuhanya, dengan cara Olah Roso (Olah Batin), agar seseorang mendapatkan Energi tersebut.
Apakah dengan Olah Batin ini, maka Reiki dapat disebut sebagai Ilmu Kebatinan? Seperti yang dituduhkan oleh Agama Pendatang kepada Kejawen.
Catatan:
Kekejian Agama Pendatang memutar balikan antara makna Olah Batin dengan Kebatinan adalah ulah yang tidak terpuji. Dapat dipastikan, bahwa orang-orang yang memutarbalikan fakta tersebut, adalah bukan orang-orang yang memeluk Agama Tuhan. Atau bahkan mungkin, orang-orang tersebut justru menganut Agama Setan.
Senin, 25 April 2011
Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
Mengapa kita perlu membicarakan Kosa Kata Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, hal ini mengingat banyak klaim dari beberapa Agama yang menyatakan bahwa Agama tersebut adalah Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
Kita dapat bedakan menjadi dua definisi :
1. Ciptaan Tuhan secara langsung; adalah berbagai hal yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, tanpa perantara apapun.
* Kehidupan
* Nafas
* dlsb
* Atau yang disebut juga Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
2. Ciptaan Tuhan secara tidak langsung; adalah berbagai hal yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, melalui perantaraan manusia yang dipintarkan.
* Mobil Motor
* Agama
* dlsb
* Atau yang disebut juga buatan Manusia
Catatan :
Jadi jelas, Agama adalah buatan Manusia, karena di Indonesia saja secara formalitas ada 5 Agama, dimana satu dan yang lainnya terkadang berhantam-hantaman adu argumentasi, bahkan bunuh-bunuhan.
Kalau Agama-agama tersebut, benar-benar buatan Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak mungkin mereka akan saling baku hantam sendiri. Memangnya Tuhan Yang Maha Esa, seorang sosiolog yang baru semester I, sehingga tidak bisa menggunakan manajemen konflik secara benar. Untuk menghindari konflik itu sendiri.
Kita dapat bedakan menjadi dua definisi :
1. Ciptaan Tuhan secara langsung; adalah berbagai hal yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, tanpa perantara apapun.
* Kehidupan
* Nafas
* dlsb
* Atau yang disebut juga Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
2. Ciptaan Tuhan secara tidak langsung; adalah berbagai hal yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, melalui perantaraan manusia yang dipintarkan.
* Mobil Motor
* Agama
* dlsb
* Atau yang disebut juga buatan Manusia
Catatan :
Jadi jelas, Agama adalah buatan Manusia, karena di Indonesia saja secara formalitas ada 5 Agama, dimana satu dan yang lainnya terkadang berhantam-hantaman adu argumentasi, bahkan bunuh-bunuhan.
Kalau Agama-agama tersebut, benar-benar buatan Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak mungkin mereka akan saling baku hantam sendiri. Memangnya Tuhan Yang Maha Esa, seorang sosiolog yang baru semester I, sehingga tidak bisa menggunakan manajemen konflik secara benar. Untuk menghindari konflik itu sendiri.
Label:
Agama,
Catatan,
Ciptaan Ghusti,
Ciptaan Tuhan,
Kosa Kata
Minggu, 24 April 2011
Agama Lokal
Agama merupakan kepercayaan yang lahir dan tumbuh pada tempatnya. Oleh karena itu, secara ilmu pengetahuan yang logis (Sosiologi), menyatakan bahwa semua agama adalah pada mulanya lahir sebagai "Agama Lokal".
Memang banyak agama yang berdalih bahwa, faham mereka sudah ada sebelum bumi ini ada.
Tetapi secara nalar, hal itu dapat dibuktikan, bahwa itu hanya merupakan Omong Kosong.
Seperti kita semua ketahui, "Naluri Kehidupan" adalah "Prilaku Tertua" yang ada dalam diri manusia. Sehingga "Prilaku Naluri" tersebutlah, yang sebenarnya diakui oleh agama-agama yang ada di dunia ini, sebagai faham mereka.
Memang masuk akal, kalau faham itu diakui oleh semua agama-agama yang ada di dunia menurut tempat kelahiran dan tumbuhnya agama tersebut. Hal ini dikarenakan, dari semua agama yang ada, jika kita baca kitab sucinya dan sejarahnya, pasti semua agama berhubungan dengan Budaya Lokal-nya. Hal ini yang mewarnai agama itu sendiri.
Beberapa Negara Maju yang menggunakan Agama Lokal-nya menjadi Agama Nasional, antara lain : Jepang dan Israel.
Mengapa harus menggunakan Agama Lokal?
* Berdoa akan lebih nyaman, karena menggunakan "Bahasa Ibu" yang secara psikologis lebih menyatu dengan pikiran yang ada di otak kita.
* Gaya Hidup kita berpakaian akan lebih nyaman, karena tidak perlu merubah penampilan, hanya untuk ikut-ikutan Budaya Asing
* Bertutur Kata kita memakai bahasa sendiri
* Kita dilahirkan di Tempat dan Waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Jadi memang Takdir kita untuk memeluk Agama Lokal
* Dengan memeluk Agama Lokal, kita akan lebih memiliki "Kearifan Lokal", sehingga tidak mengikuti kepentingan para pebisnis Agama Pendatang.
* Memeluk Agama Lokal akan lebih murah secara biaya, karena tidak perlu "Napak Tilas" ke tempat Agama Pendatang itu lahir.
* Dengan menggunakan "Agama Lokal" kita tidak perlu beradaptasi dengan Tradisi Agama Pendatang tersebut.
Memang banyak agama yang berdalih bahwa, faham mereka sudah ada sebelum bumi ini ada.
Tetapi secara nalar, hal itu dapat dibuktikan, bahwa itu hanya merupakan Omong Kosong.
Seperti kita semua ketahui, "Naluri Kehidupan" adalah "Prilaku Tertua" yang ada dalam diri manusia. Sehingga "Prilaku Naluri" tersebutlah, yang sebenarnya diakui oleh agama-agama yang ada di dunia ini, sebagai faham mereka.
Memang masuk akal, kalau faham itu diakui oleh semua agama-agama yang ada di dunia menurut tempat kelahiran dan tumbuhnya agama tersebut. Hal ini dikarenakan, dari semua agama yang ada, jika kita baca kitab sucinya dan sejarahnya, pasti semua agama berhubungan dengan Budaya Lokal-nya. Hal ini yang mewarnai agama itu sendiri.
Beberapa Negara Maju yang menggunakan Agama Lokal-nya menjadi Agama Nasional, antara lain : Jepang dan Israel.
Mengapa harus menggunakan Agama Lokal?
* Berdoa akan lebih nyaman, karena menggunakan "Bahasa Ibu" yang secara psikologis lebih menyatu dengan pikiran yang ada di otak kita.
* Gaya Hidup kita berpakaian akan lebih nyaman, karena tidak perlu merubah penampilan, hanya untuk ikut-ikutan Budaya Asing
* Bertutur Kata kita memakai bahasa sendiri
* Kita dilahirkan di Tempat dan Waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Jadi memang Takdir kita untuk memeluk Agama Lokal
* Dengan memeluk Agama Lokal, kita akan lebih memiliki "Kearifan Lokal", sehingga tidak mengikuti kepentingan para pebisnis Agama Pendatang.
* Memeluk Agama Lokal akan lebih murah secara biaya, karena tidak perlu "Napak Tilas" ke tempat Agama Pendatang itu lahir.
* Dengan menggunakan "Agama Lokal" kita tidak perlu beradaptasi dengan Tradisi Agama Pendatang tersebut.
Label:
Agama,
Agama Pendatang,
Agami Jawi,
Bahasa,
Berpakaian,
Bertutur Kata,
Catatan,
Ciptaan Ghusti,
Dogma,
Iman,
Kearifan Lokal,
Logika,
Napak Tilas,
Olah Roso,
Rasul,
Tahun Jawa,
Takdir,
Tradisi
Jumat, 22 April 2011
Doa-doa dasar
Yang dimaksud doa-doa dasar adalah, doa yang dapat dilakukan dalam berbagai kesempatan.
Bacaannya; Ghusti, hanya pada Mu aku Berpasrah, hanya pada Mu aku Berterimakasih, hanya pada Mu aku Memohon
Setelah itu, sebutkan niat kita ber-Doa. Contohnya, kita ingin memohon kesembuhan.
Ghusti, hanya pada Mu aku Berpasrah, hanya pada Mu aku Berterimakasih, hanya pada Mu aku Memohon
Ghusti, saya/aku/hamba memohon atas kesembuhan penyakit yang sudah saya/aku/hamba derita selama ini...... dlsb
Catatan :
Doa tersebut di atas, hanyalah contoh. Bukan berarti Anda harus meniru 100%. Seperti kita sepakati, bahwa hubungan setiap individu dengan Ghusti, memiliki hubungan yang unik.
Yang perlu benar-benar diingat adalah, doa Seorang Kejawen tidaklah sama seperti doa agama-agama import, yang gemar menggunakan "Kalimat Perintah" kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bacaannya; Ghusti, hanya pada Mu aku Berpasrah, hanya pada Mu aku Berterimakasih, hanya pada Mu aku Memohon
Setelah itu, sebutkan niat kita ber-Doa. Contohnya, kita ingin memohon kesembuhan.
Ghusti, hanya pada Mu aku Berpasrah, hanya pada Mu aku Berterimakasih, hanya pada Mu aku Memohon
Ghusti, saya/aku/hamba memohon atas kesembuhan penyakit yang sudah saya/aku/hamba derita selama ini...... dlsb
Catatan :
Doa tersebut di atas, hanyalah contoh. Bukan berarti Anda harus meniru 100%. Seperti kita sepakati, bahwa hubungan setiap individu dengan Ghusti, memiliki hubungan yang unik.
Yang perlu benar-benar diingat adalah, doa Seorang Kejawen tidaklah sama seperti doa agama-agama import, yang gemar menggunakan "Kalimat Perintah" kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Langganan:
Postingan (Atom)