“Absolut”, “Serentak dan Seragam”, “Tidak bisa berubah dan diubah-ubah”, “Tidak perlu dipelajari dan dihafalkan”
NAFAS
Absolut?
Ya,
karena setiap manusia dan binatang hidup pasti menghisap Oksigen dan tidak bisa digantikan dengan zat lain
Serentak dan seragam?
Ya,
karena di seluruh belahan dunia semua orang memiliki gaya nafas yang sama, tanpa adanya sosialisasi
Tidak bisa berubah dan diubah-ubah?
Ya,
karena orang tidak bisa merubah gaya nafasnya atau yang dihirupnya
Tidak perlu dipelajari dan dihafalkan?
Ya,
karena pada saat kita lahir, kita tidak perlu mempelajari dan menghafalnya bagaimana cara bernafas
AGAMA
Absolut?
Tidak,
karena ada banyak pilihan Agama di dunia ini, meskipun semuanya meng-klaim merekalah yang paling benar. Kondisi ini justru banyak menimbulkan peperangan yang sebenarnya dibenci oleh Nya
Serentak dan Seragam?
Tidak,
karena tidak ada satupun Agama di dunia yang tidak memerlukan sosialisasi untuk pengembangannya / pemasarannya. Di lain pihak, semua agama bermula dari kepercayaan lokal (tidak serentak, dan perlu sosialisasi)
Tidak bisa berubah dan diubah-ubah?
Bisa,
karena orang dapat mengubah ayat-ayat atau doa-doa dalam Kitab Ajarannya, dan kemudian dicetak ulang dengan sampul yang sama. Yang saat ini kita dapat lihat banyak bentrokan internal di Agamanya sendiri, karena ada pihak yang merasa, bahwa kelompok lain telah mengubah kaidah Agama dalam Kitab Ajarannya, sementara menurut salah satu pihak, milik merekalah yang lebih asli.
Tidak Perlu dipelajari dan dihafalkan?
Justru harus dipelajari dan dihafalkan terlebih dahulu, karena tanpa mempelajari dan menghafalnya, maka kita tidak dapat berprilaku menurut Agama yang dianut.
Catatan:
Melihat logika di atas, maka tidak heran jika terjadi banyak peperangan di sana-sini. Karena mayoritas Agama ingin benarnya sendiri, dengan pembenaran diri atas nama utusan Tuhan Yang Maha Esa.
Agama Jawi mengajarkan teposeliro atau tenggangrasa atau lebih menekankan pada empati, ketimbang pembenaran diri atas nama utusan Tuhan Yang Maha Esa.
Ditinjau sedikit lebih jauh, pertanyaannya, apakah orang tua kita rela dan mau melihat anak-anak mereka berkelahi satu sama lain. Kalau orang tua kita saja tidak rela dan tidak mau, apalagi Tuhan Yang Maha Esa. Jadi intinya Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah membuat agama. Dengan kita mengakui agama-agama tersebut buatan Tuhan Yang Maha Esa, sementara mereka saling bertikai, maka sama saja kita mengecilkan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri.
Catatan Kejawen
.... Tuhan ada sebelum kita semua ada, Tuhan tetap ada setelah kita semua tiada ....
Bagaimana Menjadi Seorang Kejawen Sejati?
Caranya; puasa lah mutih Senin Kamis, pada saat menjalani puasa tersebut tanyakan pada diri sendiri (dasar2 Olah Roso), apakah Anda suka membohongi diri Anda sendiri? Kalau jawabannya, Anda suka membohongi diri Anda sendiri, maka Anda bukan orang yang cocok untuk Menjadi Seorang Kejawen....
Kejawen adalah orang yang memeluk Agami Jawi. Jawi sendiri memiliki arti dan makna : Berbudi Luhur. Jadi Agami Jawi bukan Agamanya orang Jawa saja, melainkan Agamanya orang yang ingin Berbudi Luhur...
Caranya; puasa lah mutih Senin Kamis, pada saat menjalani puasa tersebut tanyakan pada diri sendiri (dasar2 Olah Roso), apakah Anda suka membohongi diri Anda sendiri? Kalau jawabannya, Anda suka membohongi diri Anda sendiri, maka Anda bukan orang yang cocok untuk Menjadi Seorang Kejawen....
Kejawen adalah orang yang memeluk Agami Jawi. Jawi sendiri memiliki arti dan makna : Berbudi Luhur. Jadi Agami Jawi bukan Agamanya orang Jawa saja, melainkan Agamanya orang yang ingin Berbudi Luhur...
Agama Tidak Membuat Orang Jadi Baik
Minggu, 30 Oktober 2011
Sifat Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
Kamis, 12 Mei 2011
Sembayang Kejawen
Dari website yang saya telusuri, ttg cara sembahyang, yang paling nyaman menurut saya, yang satu ini, ini saya sate (Salin Tempel) saja dari yang berkompeten.....
Bagaimana sembahyang ?
Untuk sembahyang sehari-hari, adalah pada saat “Bangun Tidur” dan ketika “Menjelang Tidur”.
Maknanya; Orang Lahir (Bangun Tidur) dan Meninggal (Tidur)
Bagaimana posisi sembahyang?
Kita cukup terlentang layaknya orang tidur, dengan "Telapak Tangan Kiri Diletakan Tepat di atas Jantung", dan "Telapak Tangan Kanan Diletakan Tepat di atas Puser.
Maknanya; Jantug (Organ Vital Kehidupan - Yang membersihkan Getih / Darah), dan Puser (Tali Kehidupan Ketika Kita di dalam Kandungan)
Apa doanya ketika sembahyang?
Bangun Tidur Terimakasih Ghusti, saya diberi kesempatan kembali untuk hidup hari ini. “Saudara Papat limo pancer", mari kita sama-sama menikmati hari ini dengan baik, semoga hidup kita juga bermanfaat bagi Ghusti dan Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb). Menjelang Tidur
Ghusti, terimakasih untuk hari ini. Niat saya tidur, ikhlas dan pasrah pada Ghusti. “Saudara Papat limo pancer", selamat tidur, badan tidur hati tetap bangun. Terimakasih, sudah bersama-sama dengan saya dari Bangun Tidur hingga Tidur Kembali.
Eling
Sebelum melakukan segala sesuatu, sebagai seorang Kejawen harus Eling lan Waspodo. Arti kekiniannya, kita harus selalu sadar dan konsentrasi pada apa yang kita akan lakukan. Tetapi arti yang sebenarnya, kita harus selalu ingat dengan Ghusti, dan bahwa segala sesuatu kejadian tidak lepas dari interaksi kita dengan segala sesuatu di sekitar kita termasuk alam, sesepuh, dan mahluk halus lainnya.
Sembayang lainnya:
Dapat dilakukan dalam keadaan Duduk atau Sila, Berdiri, maupun Terlentang.
Selain sembahyang wajib, akan lebih baik dilakukan dalam keadaan Duduk atau Sila, "Telapak Tangan Kiri Menempel di Dada, dan Telapak Tangan Kanan Menempel pada Puser", atau dengan "Tangan Kanan di Bawah Tangan Kiri".
Makna Tangan Kanan di Bawah Tangan Kirinya; Yang Kotor di Bawah Yang Bersih (Darah Bersih dari Jantung mengalir pada bagian Tubuh sebelah Kiri, sementara aliran Darah Kotor mengalir pada bagian Tubuh sebelah Kanan).
Menyembayangi orang Meninggal:
Doanya : Dari Surga kembali ke Surga. Ghusti mohon ampunan untuk teman, saudara, dlsb.(bisa 3 x atau 7 x) Semoga dapat kembali ke asalnya, dengan jalan yang lurus dan terang. Dari Surga kembali ke Surga.
Catatan:
Diakhir sembahyang atau doa, mengapa kita tidak menggunakan kata Amin?
Kata Amin, jika diterjemahkan adalah: kabulkanlah!
Kata kabulkanlah, adalah kata perintah. Jadi tidak sepantasnya kita memerintah Tuhan Yang Maha Esa.
Sebaliknya, "berterimakasihlah" setiap menyudahi sembahyang atau berdoa. Karena kata itulah kebalikannya dari kata Amin Untuk bahasa Jawa-nya; matursembahnuwun Ghusti
Untuk bahasa Indonesianya; Terimakasih Ghusti
Ghusti selalu memberikan kita yang terbaik, masa manusia masih menyusuruh mengabulkan keinginan serakahnya.
Bagaimana sembahyang ?
Untuk sembahyang sehari-hari, adalah pada saat “Bangun Tidur” dan ketika “Menjelang Tidur”.
Maknanya; Orang Lahir (Bangun Tidur) dan Meninggal (Tidur)
Bagaimana posisi sembahyang?
Kita cukup terlentang layaknya orang tidur, dengan "Telapak Tangan Kiri Diletakan Tepat di atas Jantung", dan "Telapak Tangan Kanan Diletakan Tepat di atas Puser.
Maknanya; Jantug (Organ Vital Kehidupan - Yang membersihkan Getih / Darah), dan Puser (Tali Kehidupan Ketika Kita di dalam Kandungan)
Apa doanya ketika sembahyang?
Bangun Tidur Terimakasih Ghusti, saya diberi kesempatan kembali untuk hidup hari ini. “Saudara Papat limo pancer", mari kita sama-sama menikmati hari ini dengan baik, semoga hidup kita juga bermanfaat bagi Ghusti dan Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb). Menjelang Tidur
Ghusti, terimakasih untuk hari ini. Niat saya tidur, ikhlas dan pasrah pada Ghusti. “Saudara Papat limo pancer", selamat tidur, badan tidur hati tetap bangun. Terimakasih, sudah bersama-sama dengan saya dari Bangun Tidur hingga Tidur Kembali.
Eling
Sebelum melakukan segala sesuatu, sebagai seorang Kejawen harus Eling lan Waspodo. Arti kekiniannya, kita harus selalu sadar dan konsentrasi pada apa yang kita akan lakukan. Tetapi arti yang sebenarnya, kita harus selalu ingat dengan Ghusti, dan bahwa segala sesuatu kejadian tidak lepas dari interaksi kita dengan segala sesuatu di sekitar kita termasuk alam, sesepuh, dan mahluk halus lainnya.
Sembayang lainnya:
Dapat dilakukan dalam keadaan Duduk atau Sila, Berdiri, maupun Terlentang.
Selain sembahyang wajib, akan lebih baik dilakukan dalam keadaan Duduk atau Sila, "Telapak Tangan Kiri Menempel di Dada, dan Telapak Tangan Kanan Menempel pada Puser", atau dengan "Tangan Kanan di Bawah Tangan Kiri".
Makna Tangan Kanan di Bawah Tangan Kirinya; Yang Kotor di Bawah Yang Bersih (Darah Bersih dari Jantung mengalir pada bagian Tubuh sebelah Kiri, sementara aliran Darah Kotor mengalir pada bagian Tubuh sebelah Kanan).
Menyembayangi orang Meninggal:
Doanya : Dari Surga kembali ke Surga. Ghusti mohon ampunan untuk teman, saudara, dlsb.(bisa 3 x atau 7 x) Semoga dapat kembali ke asalnya, dengan jalan yang lurus dan terang. Dari Surga kembali ke Surga.
Catatan:
Diakhir sembahyang atau doa, mengapa kita tidak menggunakan kata Amin?
Kata Amin, jika diterjemahkan adalah: kabulkanlah!
Kata kabulkanlah, adalah kata perintah. Jadi tidak sepantasnya kita memerintah Tuhan Yang Maha Esa.
Sebaliknya, "berterimakasihlah" setiap menyudahi sembahyang atau berdoa. Karena kata itulah kebalikannya dari kata Amin Untuk bahasa Jawa-nya; matursembahnuwun Ghusti
Untuk bahasa Indonesianya; Terimakasih Ghusti
Ghusti selalu memberikan kita yang terbaik, masa manusia masih menyusuruh mengabulkan keinginan serakahnya.
Label:
Catatan,
Doa,
Eling,
Orang Meninggal,
Pihak Lain,
Sembahyang
Rabu, 11 Mei 2011
Sesajen atau Sajian
Mengapa seorang Kejawen Sejati memberikan Sesajen?
Hal ini dikarenakan oleh tata krama sopan santun kepada Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb), yang harus dicerminkan oleh seorang Kejawen.
Analoginya, dengan kita menyembah Ghusti, tidak berarti kita tidak menyuguhkan kenalan atau tetangga kita yang berkunjung ke rumah kita. Dalam kehidupan ini, Agama mana yang tidak mempercayai alam gaib, atau kehidupan lain di bumi ini? Dalam Kedjawen, kepercayaan itu dituangkan pula dalam pola sopan santun kepada “Mahluk Halus” yang termasuk dalam kategori Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb) yang ada di sekitar kita.
Atau sebaliknya, jika kita menyuguhkan sajian kepada tamu kita yang datang ke rumah kita, apakah artinya kita menyembah tamu kita tersebut?
Jawabannya; tentu tidak khan!
Mengapa malam Jumat?
Seorang Kejawen mempercayai, bahwa malam Jumat adalah malam dimana para “Sesepuh” (baik itu mahluk halus maupun orang tua/saudara/kerabat yang sudah tidak ada) mengunjungi anak wayahnya.
Apa yang disuguhkan?
Untuk menghormati para “Sesepuh”, kita sebaiknya menyuguhkan hidangan seperti layaknya menyuguhkan tamu kita, minuman (Teh atau Kopi - tidak menutup kemungkinan jika kita juga ingin menyediakan rokok, bunga melati - sebagai wangi-wangian, dlsb) sebagai simbol penghormatan kita kepada para “Sesepuh” atau tamu kita. Jadi, hal ini merupakan bentuk sopan santun kita kepada para “Sesepuh”, maupun "Mahluk Halus" yang kita rasa sering berkunjung ke rumah kita.
Mengapa disebut Sesepuh?
Karena mereka umumnya mempunyai umur yang jauh di atas kita. Sehingga mereka layak disebut "Sesepuh". Begitu juga Kakek Buyut kita atau Orang Tua kita yang sudah meninggal. Dimana mereka selalu menengok anak cucu-nya pada malam Jumat.
Jadi kita tidak menyembah Sesepuh kita melebihi Ghusti?
Absolut tidak. Kalau dibalik dengan pertanyaan. Apakah Anda menyuguhkan kenalan Anda waktu mereka bertamu ke rumah Anda, berarti Anda menyembah tamu Anda?
Mengapa waktu memberikan Sesajen, bersikap seolah menyembah?
Ini memang ada kesalahan gesture antara menyembah Ghusti, dengan memberi hormat kepada “Sesepuh”.
Sebenarnya dalam Kejawen menjembah Ghusti, tangan diletakan diatas kepala atau bersentuhan dengan dahi.
Yang memiliki makna; Posisi Ghusti adalah absolut di atas segala-galanya
Sedangkan untuk memberi salam hormat kepada “Sesepuh” tangan/jempol menyentuh dagu. Yang memiliki makna; bahwa seorang Kejawen tidak boleh berbuat sembrono/sembarangan (baik prilaku maupun bertutur kata), kepada orang atau mahluk yang lebih sepuh.
Sementara memberi salam hormat kepada sesama adalah dengan tangan/jempol menyentuh dada.
Yang memiliki makna; bahwa seorang kejawen menghormati sesamanya, dengan hati yang tulus dan ikhlas
Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb)
Hal ini dikarenakan oleh tata krama sopan santun kepada Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb), yang harus dicerminkan oleh seorang Kejawen.
Analoginya, dengan kita menyembah Ghusti, tidak berarti kita tidak menyuguhkan kenalan atau tetangga kita yang berkunjung ke rumah kita. Dalam kehidupan ini, Agama mana yang tidak mempercayai alam gaib, atau kehidupan lain di bumi ini? Dalam Kedjawen, kepercayaan itu dituangkan pula dalam pola sopan santun kepada “Mahluk Halus” yang termasuk dalam kategori Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb) yang ada di sekitar kita.
Atau sebaliknya, jika kita menyuguhkan sajian kepada tamu kita yang datang ke rumah kita, apakah artinya kita menyembah tamu kita tersebut?
Jawabannya; tentu tidak khan!
Mengapa malam Jumat?
Seorang Kejawen mempercayai, bahwa malam Jumat adalah malam dimana para “Sesepuh” (baik itu mahluk halus maupun orang tua/saudara/kerabat yang sudah tidak ada) mengunjungi anak wayahnya.
Apa yang disuguhkan?
Untuk menghormati para “Sesepuh”, kita sebaiknya menyuguhkan hidangan seperti layaknya menyuguhkan tamu kita, minuman (Teh atau Kopi - tidak menutup kemungkinan jika kita juga ingin menyediakan rokok, bunga melati - sebagai wangi-wangian, dlsb) sebagai simbol penghormatan kita kepada para “Sesepuh” atau tamu kita. Jadi, hal ini merupakan bentuk sopan santun kita kepada para “Sesepuh”, maupun "Mahluk Halus" yang kita rasa sering berkunjung ke rumah kita.
Mengapa disebut Sesepuh?
Karena mereka umumnya mempunyai umur yang jauh di atas kita. Sehingga mereka layak disebut "Sesepuh". Begitu juga Kakek Buyut kita atau Orang Tua kita yang sudah meninggal. Dimana mereka selalu menengok anak cucu-nya pada malam Jumat.
Jadi kita tidak menyembah Sesepuh kita melebihi Ghusti?
Absolut tidak. Kalau dibalik dengan pertanyaan. Apakah Anda menyuguhkan kenalan Anda waktu mereka bertamu ke rumah Anda, berarti Anda menyembah tamu Anda?
Mengapa waktu memberikan Sesajen, bersikap seolah menyembah?
Ini memang ada kesalahan gesture antara menyembah Ghusti, dengan memberi hormat kepada “Sesepuh”.
Sebenarnya dalam Kejawen menjembah Ghusti, tangan diletakan diatas kepala atau bersentuhan dengan dahi.
Yang memiliki makna; Posisi Ghusti adalah absolut di atas segala-galanya
Sedangkan untuk memberi salam hormat kepada “Sesepuh” tangan/jempol menyentuh dagu. Yang memiliki makna; bahwa seorang Kejawen tidak boleh berbuat sembrono/sembarangan (baik prilaku maupun bertutur kata), kepada orang atau mahluk yang lebih sepuh.
Sementara memberi salam hormat kepada sesama adalah dengan tangan/jempol menyentuh dada.
Yang memiliki makna; bahwa seorang kejawen menghormati sesamanya, dengan hati yang tulus dan ikhlas
Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb)
Selasa, 10 Mei 2011
Empat Sila Utama Pola Hubungan
Berprilaku dengan 4 Sila Dasar Utama Pola Hubungan dengan apa yang ada di luar diri kita :
1. "Eling Lan Bekti marang Ghusti Kang Murbeng Dumadi" : artinya, kita yang Eling, seyogyanya harus selalu mengingat dan menyembah Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa) dalam setiap tarikan nafas kita. Dimana Ghusti yang Esa telah memberikan kesempatan bagi kita untuk hidup dan berkarya di alam yang Indah ini.
2. “Setyo marang Penggede Negoto”: artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di suatu wilayah, maka adalah wajar dan wajib untuk menghormati dan mengikuti semua peraturan yang di keluarkan pemimpinnya yang baik dan bijaksana.
3. “Bekti marang Bhumi Nusontoro” artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di bumi nusantara ini, wajar dan wajib untuk merawat dan memperlakukan bumi ini dengan baik, dimana bumi ini telah memberikan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya. Dengan berbakti dan menjaga kelestarian Alam, maka alam akan memberikan yang terbaik untuk kita yang hidup di atasnya.
4. “Bekti Marang Wong Tuwo” : artinya, kita tidak dengan serta merta ada di dunia ini, tetapi melalui perantara Ibu dan Ayah, maka hormatilah, mulyakanlah orang tua yang telah merawat kita. Berbakti kepada Ayah dan Ibu yang telah memberikan kita jalan untuk meraih kehidupan disini.
5. “Bekti Marang sedulur Tuwo” : artinya, menghormati saudara yang lebih tua dan lebih mengerti dari pada kita, baik tua secara umur, secara derajat, pengetahuan maupun kemampuannya.
6. “Tresno marang kabeh kawulo Mudo” : artinya, menyayangi kawulo yang lebih muda, memberikan bimbingan, dan menularkan pengalaman dan pengetahuan kepada yang muda. Dengan harapan, yang muda ini akan dapat menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab.
7. “Tresno marang sepepadaning manungso” : artinya, yang perlu diingat dan dicamkan dalam hati yang terdalam adalah, bahwa semua manusia sama nilainya dihadapan Ghusti". Karenanya, hormatilah sesamamu, dimana mereka memiliki harkat dan martabat yang sama dengan mu, dan sederajat dengan manusia lainnya. cintailah sesamamu dengan tulus ikhlas.
8. “Tresno marang sepepadaning Urip” : artinya, semua yang di ciptakan Ghusti adalah mahluk yang ada karena kehendak Ghusti yang Kuasa, karena mereka memiliki fungsi masing masing, dalam melestarikan kita bersama alam ini. Dengan menghormati semua ciptaanNya, maka kitapun telah menghargai dan menghormatiNya.
9. “Hormat marang kabeh agomo “ : artinya, hormatilah semua agama atau aliran, dan para penganutnya. Agama adalah ageming aji, yang mengatur dan menata diri meng-Olah Roso untuk menjadikan manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur.
10. “Percoyo marang Hukum Alam” : artinya, selain Ghusti menurunkan kehidupan, Ghusti juga menurunkan Hukum Alam dan menjadi hukum sebab akibat, siapa yang menanam maka dia yang menuai. Kita ini hidup di alam dualitas, dan akan terikat dengan hukum-hukum yang ada selama masih berdiam di pangkuan alam tersebut, dan hormatilah alam dan hukumnya.
11. “Percoyo marang kepribaden dhewe tan owah gingsir” : artinya, manusia ini rapuh, dan hatinya berubah-ubah, maka hendaklah menyadarinya, dan dapat menempatkan diri di hadapan Ghusti, agar selalu mendapat lindungan dan rahmatNya, dalam menjalani Hidup dan kehidupan ini. Dengan terus melakukan Olah Roso, berarti kita terus menata diri demi meraih pribadi yang berbudi pekerti luhur memayu hayuning bawono.
12. “Bekti Marang Mahluk Lainnya” : artinya, menghormati mahluk lain ciptaanNya juga, seperti ia menghormati manusia lainnya "Tresno marang sepepadaning manungso"
12 Makna di atas sebenarnya merupakan penjabaran, bagaimana sebaiknya seorang Kejawen harus berprilaku dengan 4 Sila Dasar Utama Pola Hubungan dengan apa yang ada di luar dirinya:
1. Hubungan Manusia dengan Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa)
2. Hubungan Manusia dengan Alam Semesta
3. Hubungan Manusia dengan Mahluk lain
4. Hubungan Manusia dengan sesama Manusia
Dalam urutan di atas, jelas, bahwa Hubungan Manusia dengan sesama Manusia adalah hubungan yang paling Rendah. Di sinilah filosofinya, bahwa Manusia harus menyayangi semua kehidupan, agar hidup ini bahagia. Jadi seorang Kejawen Sejati, jangan pernah mengatakan bahwa Manusialah mahluk yang paling sempurna. Karena pikiran itu, akan membuat diri ini ingin menang sendiri.
Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)
Menyayangi semua kehidupan bukan berarti memberi toleransi pada kejahatan yang dilakukan oleh Pihak Lain (Orang lain, dan Mahluk Lain)
1. "Eling Lan Bekti marang Ghusti Kang Murbeng Dumadi" : artinya, kita yang Eling, seyogyanya harus selalu mengingat dan menyembah Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa) dalam setiap tarikan nafas kita. Dimana Ghusti yang Esa telah memberikan kesempatan bagi kita untuk hidup dan berkarya di alam yang Indah ini.
2. “Setyo marang Penggede Negoto”: artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di suatu wilayah, maka adalah wajar dan wajib untuk menghormati dan mengikuti semua peraturan yang di keluarkan pemimpinnya yang baik dan bijaksana.
3. “Bekti marang Bhumi Nusontoro” artinya, sebagai manusia yang tinggal dan hidup di bumi nusantara ini, wajar dan wajib untuk merawat dan memperlakukan bumi ini dengan baik, dimana bumi ini telah memberikan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya. Dengan berbakti dan menjaga kelestarian Alam, maka alam akan memberikan yang terbaik untuk kita yang hidup di atasnya.
4. “Bekti Marang Wong Tuwo” : artinya, kita tidak dengan serta merta ada di dunia ini, tetapi melalui perantara Ibu dan Ayah, maka hormatilah, mulyakanlah orang tua yang telah merawat kita. Berbakti kepada Ayah dan Ibu yang telah memberikan kita jalan untuk meraih kehidupan disini.
5. “Bekti Marang sedulur Tuwo” : artinya, menghormati saudara yang lebih tua dan lebih mengerti dari pada kita, baik tua secara umur, secara derajat, pengetahuan maupun kemampuannya.
6. “Tresno marang kabeh kawulo Mudo” : artinya, menyayangi kawulo yang lebih muda, memberikan bimbingan, dan menularkan pengalaman dan pengetahuan kepada yang muda. Dengan harapan, yang muda ini akan dapat menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab.
7. “Tresno marang sepepadaning manungso” : artinya, yang perlu diingat dan dicamkan dalam hati yang terdalam adalah, bahwa semua manusia sama nilainya dihadapan Ghusti". Karenanya, hormatilah sesamamu, dimana mereka memiliki harkat dan martabat yang sama dengan mu, dan sederajat dengan manusia lainnya. cintailah sesamamu dengan tulus ikhlas.
8. “Tresno marang sepepadaning Urip” : artinya, semua yang di ciptakan Ghusti adalah mahluk yang ada karena kehendak Ghusti yang Kuasa, karena mereka memiliki fungsi masing masing, dalam melestarikan kita bersama alam ini. Dengan menghormati semua ciptaanNya, maka kitapun telah menghargai dan menghormatiNya.
9. “Hormat marang kabeh agomo “ : artinya, hormatilah semua agama atau aliran, dan para penganutnya. Agama adalah ageming aji, yang mengatur dan menata diri meng-Olah Roso untuk menjadikan manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur.
10. “Percoyo marang Hukum Alam” : artinya, selain Ghusti menurunkan kehidupan, Ghusti juga menurunkan Hukum Alam dan menjadi hukum sebab akibat, siapa yang menanam maka dia yang menuai. Kita ini hidup di alam dualitas, dan akan terikat dengan hukum-hukum yang ada selama masih berdiam di pangkuan alam tersebut, dan hormatilah alam dan hukumnya.
11. “Percoyo marang kepribaden dhewe tan owah gingsir” : artinya, manusia ini rapuh, dan hatinya berubah-ubah, maka hendaklah menyadarinya, dan dapat menempatkan diri di hadapan Ghusti, agar selalu mendapat lindungan dan rahmatNya, dalam menjalani Hidup dan kehidupan ini. Dengan terus melakukan Olah Roso, berarti kita terus menata diri demi meraih pribadi yang berbudi pekerti luhur memayu hayuning bawono.
12. “Bekti Marang Mahluk Lainnya” : artinya, menghormati mahluk lain ciptaanNya juga, seperti ia menghormati manusia lainnya "Tresno marang sepepadaning manungso"
12 Makna di atas sebenarnya merupakan penjabaran, bagaimana sebaiknya seorang Kejawen harus berprilaku dengan 4 Sila Dasar Utama Pola Hubungan dengan apa yang ada di luar dirinya:
1. Hubungan Manusia dengan Ghusti (Tuhan Yang Maha Esa)
2. Hubungan Manusia dengan Alam Semesta
3. Hubungan Manusia dengan Mahluk lain
4. Hubungan Manusia dengan sesama Manusia
Dalam urutan di atas, jelas, bahwa Hubungan Manusia dengan sesama Manusia adalah hubungan yang paling Rendah. Di sinilah filosofinya, bahwa Manusia harus menyayangi semua kehidupan, agar hidup ini bahagia. Jadi seorang Kejawen Sejati, jangan pernah mengatakan bahwa Manusialah mahluk yang paling sempurna. Karena pikiran itu, akan membuat diri ini ingin menang sendiri.
Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)
Menyayangi semua kehidupan bukan berarti memberi toleransi pada kejahatan yang dilakukan oleh Pihak Lain (Orang lain, dan Mahluk Lain)
Senin, 09 Mei 2011
Dosa
Bagaimana seorang Kejawen melihat Dosa?
Dosa adalah perasaan yang timbul sebagai hasil dari perbuatan yang merugikan pihak lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)
Bagaimana kita bisa merasa berdosa?
Dalam "Budi Jawi" yang dipentingkan adalah Olah Roso, karena dari Olah Roso, maka kita tahu apakah sebuah perbuatan itu benar atau salah. Untuk memudahkan, perasaan seseorang selalu dikembalikan kepada dirinya sendiri. Sebagai contoh, jika kita memukul orang lain, bagaimana kalau kita dipukul oleh orang lain? Karena rasa sakit itu akan ada kesamaannya, jika kita yang dipukul.
Apakah Dosa dicatat oleh Ghusti?
Ghusti tidak mencatat dosa kita. Yang mencatat adalah diri kita sendiri (Kalau di-analogi-kan saat ini - setiap Manusia membawa Smart Chips nya masing-masing). Semua berpulang pada keikhlasan kita masing-masing. Apakah kita dapat berbuat ikhlas dalam kondisi yang dibalik? Jawabannya ada pada Olah Roso.
Apa itu Roso dalam Budi Jawi?
Roso merupakan sebuah atmosfir dalam diri seseorang yang diterjemahkan oleh hati, panca indra, dan pikiran kita sendiri.
Dapatkah Roso, kita bohongi atau berbohong kepada kita?
Kalau kita menjalankan dengan baik dan ikhlas, serta menggunakan hati nurani, panca indra dan pikiran kita sendiri, maka Roso itu tidak dapat berbohong atau dibohongi.
Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)
Dosa adalah perasaan yang timbul sebagai hasil dari perbuatan yang merugikan pihak lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)
Bagaimana kita bisa merasa berdosa?
Dalam "Budi Jawi" yang dipentingkan adalah Olah Roso, karena dari Olah Roso, maka kita tahu apakah sebuah perbuatan itu benar atau salah. Untuk memudahkan, perasaan seseorang selalu dikembalikan kepada dirinya sendiri. Sebagai contoh, jika kita memukul orang lain, bagaimana kalau kita dipukul oleh orang lain? Karena rasa sakit itu akan ada kesamaannya, jika kita yang dipukul.
Apakah Dosa dicatat oleh Ghusti?
Ghusti tidak mencatat dosa kita. Yang mencatat adalah diri kita sendiri (Kalau di-analogi-kan saat ini - setiap Manusia membawa Smart Chips nya masing-masing). Semua berpulang pada keikhlasan kita masing-masing. Apakah kita dapat berbuat ikhlas dalam kondisi yang dibalik? Jawabannya ada pada Olah Roso.
Apa itu Roso dalam Budi Jawi?
Roso merupakan sebuah atmosfir dalam diri seseorang yang diterjemahkan oleh hati, panca indra, dan pikiran kita sendiri.
Dapatkah Roso, kita bohongi atau berbohong kepada kita?
Kalau kita menjalankan dengan baik dan ikhlas, serta menggunakan hati nurani, panca indra dan pikiran kita sendiri, maka Roso itu tidak dapat berbohong atau dibohongi.
Catatan:
Jadi jelas bahwa Seorang Kejawen harus menjaga keseimbangan "Sopan Santun" dengan Pihak Lain (Orang Lain, Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, dlsb)
Minggu, 08 Mei 2011
Mahluk Halus, Jin, dan Setan
Mahluk Halus
Mereka adalah mahluk yang hidup di dunia ini juga. Cuma bedanya, mereka memiliki frequensi yang berbeda dengan frequensi manusia. Selain itu, zat badan mereka pun, tidak terdiri dari zat-zat yang kasar, seperti yang kita biasa temui di dunia nyata kita ini.
Sehingga tidak mengherankan, jika mereka disebut dengan "Mahluk Halus". Tetapi pada prinsipnya, pola kehiduan sosial mereka secara umum, sama seperti kehidupan kita-kita di dunia nyata ini. Singkat kata, mereka ada yang baik dan ada yang jahat, ada yang pintar dan ada pula yang bodoh. Pola pergaulannya pun hampir sama dengan pola pergaulan manusia secara umum.
Jin
Mereka adalah jenis Mahluk Halus yang termasuk dalam kategori pintar dan pintar sekali, sehingga ada sebagian dari mereka yang dapat berubah wujud, menjadi berpenampilan seperti Manusia Normal.
Dalam kehidupan Jin pun ada yang punya sifat baik dan ada yang memiliki sifat buruk.
Jadi tidak ada alasan memusuhi Jin yang bersifat baik. Tetapi seperti Manusia pula, dimana di dalam kehidupan nyata sehari-hari, kita pun dapat terkecoh oleh copet yang ber-jaz dan ber-dasi.
Seperti dalam kehidupan sehari-hari, kita pun ingat pepatah "Don't See a Book from the Cover". Hal inilah yang membuat kita pun harus terus menjadi lebih waspada terhadap siapapun juga, baik itu Jin atau Manusia sekalipun.
Setan
Mengapa banyak sekali para tokoh agama import yang menyalah artikan "Mahluk Halus", dengan menyamaratakan semua mahluk halus tersebut dengan sebutan "Setan".
Hal ini sebenarnya adalah untuk mengelabuhi orang-orang awam, agar tidak bisa bergaul (Red. Ingat Bukan Menyembah)dengan Mahluk Halus yang baik, dan mau saling tolong menolong dengan Manusia.
Jadi bagi seorang Kejawen, seyogyanya tidak boleh cepat-cepat menghakimi bahwa mereka semua adalah "Setan". Karena "Setan" sesungguhnya adalah sifat yang paling buruk dalam kehidupan di tiga dunia ini (Dunia Nyata, Dunia Mahluk Halus, dan Dunia Maya).
Tokoh agama import tersebut sebenarnya, ingin mengeliminasi pergaulan manusia awam dengan Mahluk Halus (Ada yang baik dan ada yang Jahat). Hal ini dikarenakan, agar Tokoh Agama tersebut dapat memanfaatkan pertolongan "Mahluk Halus" tersebut lebih leluasa, untuk kepentingan dan keuntungan Tokoh Agama import itu sendiri.
Jadi keterangan mereka atau pembelajaran mereka kepada pengikutnya, adalah terbalik dengan apa yang mereka perbuat di balik itu semua.
Catatan:
Romo (Tokoh Agami Jawi) selalu menasehati kita, bahwa jangan pernah buat Janji pada Mahluk Halus. Makna tersebut, sebenarnya sama dengan "Jangan gampang membuat Janji kepada orang lain, karena Jani itu hutang".
Kalau seseorang janji kepada orang lain, pasti orang yang mendapat janji tersebut akan menagih janji tersebut, jika dia butuh janji tersebut. Tetapi karena manusia terikat dengan dimensi waktu dan tempat, maka si penagih janji tidak dapat setiap saat muncul di hadapan orang yang memberi janji tersebut.
Sementara Mahluk Halus tidak mengenal dimensi tempat, sehingga mereka bisa setiap saat menagih janji tersebut, inilah yang sangat mengganggu manusia yang mudah membuat janji tersebut.
Mereka adalah mahluk yang hidup di dunia ini juga. Cuma bedanya, mereka memiliki frequensi yang berbeda dengan frequensi manusia. Selain itu, zat badan mereka pun, tidak terdiri dari zat-zat yang kasar, seperti yang kita biasa temui di dunia nyata kita ini.
Sehingga tidak mengherankan, jika mereka disebut dengan "Mahluk Halus". Tetapi pada prinsipnya, pola kehiduan sosial mereka secara umum, sama seperti kehidupan kita-kita di dunia nyata ini. Singkat kata, mereka ada yang baik dan ada yang jahat, ada yang pintar dan ada pula yang bodoh. Pola pergaulannya pun hampir sama dengan pola pergaulan manusia secara umum.
Jin
Mereka adalah jenis Mahluk Halus yang termasuk dalam kategori pintar dan pintar sekali, sehingga ada sebagian dari mereka yang dapat berubah wujud, menjadi berpenampilan seperti Manusia Normal.
Dalam kehidupan Jin pun ada yang punya sifat baik dan ada yang memiliki sifat buruk.
Jadi tidak ada alasan memusuhi Jin yang bersifat baik. Tetapi seperti Manusia pula, dimana di dalam kehidupan nyata sehari-hari, kita pun dapat terkecoh oleh copet yang ber-jaz dan ber-dasi.
Seperti dalam kehidupan sehari-hari, kita pun ingat pepatah "Don't See a Book from the Cover". Hal inilah yang membuat kita pun harus terus menjadi lebih waspada terhadap siapapun juga, baik itu Jin atau Manusia sekalipun.
Setan
Mengapa banyak sekali para tokoh agama import yang menyalah artikan "Mahluk Halus", dengan menyamaratakan semua mahluk halus tersebut dengan sebutan "Setan".
Hal ini sebenarnya adalah untuk mengelabuhi orang-orang awam, agar tidak bisa bergaul (Red. Ingat Bukan Menyembah)dengan Mahluk Halus yang baik, dan mau saling tolong menolong dengan Manusia.
Jadi bagi seorang Kejawen, seyogyanya tidak boleh cepat-cepat menghakimi bahwa mereka semua adalah "Setan". Karena "Setan" sesungguhnya adalah sifat yang paling buruk dalam kehidupan di tiga dunia ini (Dunia Nyata, Dunia Mahluk Halus, dan Dunia Maya).
Tokoh agama import tersebut sebenarnya, ingin mengeliminasi pergaulan manusia awam dengan Mahluk Halus (Ada yang baik dan ada yang Jahat). Hal ini dikarenakan, agar Tokoh Agama tersebut dapat memanfaatkan pertolongan "Mahluk Halus" tersebut lebih leluasa, untuk kepentingan dan keuntungan Tokoh Agama import itu sendiri.
Jadi keterangan mereka atau pembelajaran mereka kepada pengikutnya, adalah terbalik dengan apa yang mereka perbuat di balik itu semua.
Catatan:
Romo (Tokoh Agami Jawi) selalu menasehati kita, bahwa jangan pernah buat Janji pada Mahluk Halus. Makna tersebut, sebenarnya sama dengan "Jangan gampang membuat Janji kepada orang lain, karena Jani itu hutang".
Kalau seseorang janji kepada orang lain, pasti orang yang mendapat janji tersebut akan menagih janji tersebut, jika dia butuh janji tersebut. Tetapi karena manusia terikat dengan dimensi waktu dan tempat, maka si penagih janji tidak dapat setiap saat muncul di hadapan orang yang memberi janji tersebut.
Sementara Mahluk Halus tidak mengenal dimensi tempat, sehingga mereka bisa setiap saat menagih janji tersebut, inilah yang sangat mengganggu manusia yang mudah membuat janji tersebut.
Sabtu, 07 Mei 2011
Kesamaan dan Perbedaan Agami Jawi dengan Beberapa Agama-agama di Dunia lainnya Kesamaan
* Tuhan Yang Maha Esa berada di atas segala-galanya.
* Sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Perbedaan
* Kedjawen tidak mempunyai Standar Ganda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Agami Jawi, Tuhan Maha Segala-galanya dan Maha Menyayangi Ciptaannya. Karena Maha Segala-galanya, Tuhan Yang Maha Esa tidak Bodoh, seperti yang dituduhkan Agama Pendatang, dimana Tuhan Yang Maha Esa hanya mengerti "Satu Bahasa" untuk menerima Doa dari Manusia Ciptaannya, kalau memang Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa mengerti "Satu Bahasa" atau hanya mau mengerti "Satu Bahasa", maka sama saja mereka mengatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak lagi "Maha Segala-galanya dan Maha Menyayangi Ciptaannya".
* Bagi Seorang Kejawen Sejati, yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah menghukum. Oleh karenanya, Seorang Kejawen Sejati terus menjalani "Olah Roso" untuk dapat ikhlas, memuji, menyembah, beryukur, berpasrah, memohon ditunjukan kebaikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mengukum demi kebaikan itu hanya ada dalam sudut pandang pikiran Manusia, sementara Tuhan Yang Maha Esa bukanlah manusia.
* PUJIAN dan MENYEMBAH kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan bahasa, gerak, pikiran, dan hati nurani, tidak dapat diseragamkan, seperti gerak tertentu dan bahasa tertentu. Bagi Seorang Kejawen, berdoa selalu dengan Bahasa Ibu. Karena, kita sama-sama tahu, bahwa Tuhan Yang Maha Esa, adalah maha tahu dan maha segala-galanya, sehingga Tuhan Yang Maha Esa sudah tahu sebelum kita tahu dan mengungkapkannya dengan kata-kata.
* Dengan keyakinan niat yang positif, didapat dengan OlahRoso, berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa, TIDAK DIPERLUKAN PERANTARAAN APA DAN SIAPAPUN . Hubungan komunikasi inilah, yang justru akan menciptakan ketenangan yang lebih esensial. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan Nabi/Rasul sebagai perantaranya.
* PUJIAN dan RASA TERIMAKASIH kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga dibarengi dengan menghormati Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb). Karena Kedjawen tidak menempatkan manusia (dirinya) sebagai mahluk yang paling sempurna dibanding dengan lainnya. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan Manusia sebagai mahluk sempurna, dibanding maluk lainnya di Dunia ini.
* BERDERMA tidak bisa dihitung dengan matematis, tetapi dengan keikhlasan. Sebagai mahluk yang tumbuh dari titipan Tuhan, maka keikhlasan bisa diperoleh dengan cara OlahRoso. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan hukum matematis, untuk berderma.
* AGAMA LAIN menggunakan KITAB SUCI-nya sebagai acuan bagi penganutnya untuk berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bagi AGAMI JAWI, Seorang Kejawen justru dituntut untuk mendekatkan dirinya sendiri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara Olah Roso yang ikhlas, agar mendapatkan jalan menuju Manunggaling Kawulo Ghusti. Sementara, Agama di Dunia mengatakan bahwa KITAB SUCI adalah buatan Tuhan Yang Maha Esa.
Catatan :
Kalau diibaratkan mainan (esensinya; semua orang pada saat kecilnya mempunyai kecintaan pada sesuatu - bisa konkrit maupun imajinatif - melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri)
Maka, ibarat beberapa agama-agama di dunia lainnya adalah sebuah rumah-rumahan yang sudah jadi (si anak tinggal memainkannya), sementara Agama Jawi adalah rumah-rumahan yang dibuat dari Lego (atas kreasi keseimbangan anak itu sendiri – antara pikiran dan hatinya). Lagi-lagi yang perlu untuk diingat, Tuhan Yang Maha Esa, adalah maha tahu dan maha segala-galanya, sehingga Tuhan Yang Maha Esa sudah tahu sebelum kita ingin memberitahukan kepada Nya.
* Sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Perbedaan
* Kedjawen tidak mempunyai Standar Ganda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Agami Jawi, Tuhan Maha Segala-galanya dan Maha Menyayangi Ciptaannya. Karena Maha Segala-galanya, Tuhan Yang Maha Esa tidak Bodoh, seperti yang dituduhkan Agama Pendatang, dimana Tuhan Yang Maha Esa hanya mengerti "Satu Bahasa" untuk menerima Doa dari Manusia Ciptaannya, kalau memang Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa mengerti "Satu Bahasa" atau hanya mau mengerti "Satu Bahasa", maka sama saja mereka mengatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak lagi "Maha Segala-galanya dan Maha Menyayangi Ciptaannya".
* Bagi Seorang Kejawen Sejati, yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah menghukum. Oleh karenanya, Seorang Kejawen Sejati terus menjalani "Olah Roso" untuk dapat ikhlas, memuji, menyembah, beryukur, berpasrah, memohon ditunjukan kebaikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mengukum demi kebaikan itu hanya ada dalam sudut pandang pikiran Manusia, sementara Tuhan Yang Maha Esa bukanlah manusia.
* PUJIAN dan MENYEMBAH kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan bahasa, gerak, pikiran, dan hati nurani, tidak dapat diseragamkan, seperti gerak tertentu dan bahasa tertentu. Bagi Seorang Kejawen, berdoa selalu dengan Bahasa Ibu. Karena, kita sama-sama tahu, bahwa Tuhan Yang Maha Esa, adalah maha tahu dan maha segala-galanya, sehingga Tuhan Yang Maha Esa sudah tahu sebelum kita tahu dan mengungkapkannya dengan kata-kata.
* Dengan keyakinan niat yang positif, didapat dengan OlahRoso, berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa, TIDAK DIPERLUKAN PERANTARAAN APA DAN SIAPAPUN . Hubungan komunikasi inilah, yang justru akan menciptakan ketenangan yang lebih esensial. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan Nabi/Rasul sebagai perantaranya.
* PUJIAN dan RASA TERIMAKASIH kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga dibarengi dengan menghormati Pihak Lain (Alam, Mahluk Halus, Sesepuh, Orang Lain, dlsb). Karena Kedjawen tidak menempatkan manusia (dirinya) sebagai mahluk yang paling sempurna dibanding dengan lainnya. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan Manusia sebagai mahluk sempurna, dibanding maluk lainnya di Dunia ini.
* BERDERMA tidak bisa dihitung dengan matematis, tetapi dengan keikhlasan. Sebagai mahluk yang tumbuh dari titipan Tuhan, maka keikhlasan bisa diperoleh dengan cara OlahRoso. Sementara, beberapa Agama di Dunia menempatkan hukum matematis, untuk berderma.
* AGAMA LAIN menggunakan KITAB SUCI-nya sebagai acuan bagi penganutnya untuk berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bagi AGAMI JAWI, Seorang Kejawen justru dituntut untuk mendekatkan dirinya sendiri kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara Olah Roso yang ikhlas, agar mendapatkan jalan menuju Manunggaling Kawulo Ghusti. Sementara, Agama di Dunia mengatakan bahwa KITAB SUCI adalah buatan Tuhan Yang Maha Esa.
Catatan :
Kalau diibaratkan mainan (esensinya; semua orang pada saat kecilnya mempunyai kecintaan pada sesuatu - bisa konkrit maupun imajinatif - melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri)
Maka, ibarat beberapa agama-agama di dunia lainnya adalah sebuah rumah-rumahan yang sudah jadi (si anak tinggal memainkannya), sementara Agama Jawi adalah rumah-rumahan yang dibuat dari Lego (atas kreasi keseimbangan anak itu sendiri – antara pikiran dan hatinya). Lagi-lagi yang perlu untuk diingat, Tuhan Yang Maha Esa, adalah maha tahu dan maha segala-galanya, sehingga Tuhan Yang Maha Esa sudah tahu sebelum kita ingin memberitahukan kepada Nya.
Langganan:
Postingan (Atom)